Senja ...
Sudah
tak terhitung lagi, kali ke berapa kulihat semburat jingga itu. Seperti sore ini,
warna itu masih begitu mempesona, begitu melekat dengan segala paras eloknya.
Selalu berhasil membuatku terkagum-kagum dibuatnya. Waktunya cukup sekejap saja,
menjadi batas pergantian siang dan malam, matahari dengan bulan. Seperti kamu,
pembatas tipis hidupku antara bahagia dan lagu elegi yang sesekali mengalun
ringan.
... hampir
berpulang ...
Lihat
lah. Langit mulai menggelap. Sebentar lagi, warna jingga keemasan itu akan
lenyap, berganti dengan gelap pekatnya malam. Tentu saja gelap malam harus ada,
sebagai penyeimbang terang di kala siang. Tapi kebanyakan orang tak suka gelap,
terkadang aku pun begitu. Aku tak suka jika kegelapan datang menghampiri,
pekat, membutakan, menyesatkan. Jika tak punya sekerlip saja cahaya, kau tak
kan pernah bisa kembali – hilang arah. Aku sedang merasakannya sekarang, saat
kau perlahan pergi. Semakin lama semakin
banyak pula jarak yang kau rentangkan tanpa bisa kucegah, memberikan lara yang
amat sangat. Punggungmu semakin menjauh, dan aku lebih sering terjatuh.
... namun ...
Tak
peduli berapa banyak luka dan harap yang tak terbalas. Tapi jangan salahkan aku
jika asa itu tetap bergeming dan bertambah besar di setiap detiknya. Kau ingin
menghentikannya? Hanya ada satu jalan : buat lah waktu berhenti berdetak.
... kau ...
Senja
itu, hatiku menghangat saat pertama kali kau menatapku. Kedua mata indahmu
begitu teduh, disusul dengan debaran aneh dan tetesan rasa yang saat itu sama
sekali tak kumengerti, namun perlahan tapi pasti, segera memenuhi segala celah
yang ada. Bodohnya, aku tak pernah mau mencoba mengerti, dan saat kebenaran
telah kupahami, semua sudah berlalu pergi.
... masih ...
Tahu
kah kau aku tetap peduli? Aku tak pernah berharap satu kata, kalimat, atau sapaan
dariku akan berbalas. Aku hanya ingin menyapamu setiap hari, agar kau mengerti
aku masih tetap di sini. Satu kata pun
sudah cukup. Tak muluk-muluk, bukan?
... terlalu
jauh ...
Tapi,
kini kau benar-benar tak tergapai. Aku masih bertahan, mencoba mencari kerlip
cahaya saat kau meninggalkanku jauh di kegelapan. Tak lelah aku memohon
padaNya, tak terlalu terang pun tak apa, walaupun itu hanya kerlip cahaya
seekor kunang-kunang yang tersesat, asalkan ia bisa menuntunku menelusuri
jejakmu.
... dari ...
Aku
tak pernah menyalahkan waktu yang mempertemukan kita. Aku mempelajari caramu
mengikhlaskan, dan kuakui itu sangat berat. Seperti yang pernah kau bilang,
semua sudah terlanjur. Biar waktu yang menjawab semua, karena darinya, kita
bisa mendapat kedewasaan dan penyelesaian, yang terkadang terlalu absurd jika
hanya menggunakan logika.
... jangkauan
Apakah
kau selalu mengukur kedekatan dengan jarak? Aku tak pernah. Terkadang, sesuatu
yang terasa dekat dan nyata justru berada sangat jauh tak terlihat. Dan
sebaliknya, segala sesuatu yang tak pasti dan semu justru terlihat sangat dekat
dan jelas. Jadi, apa guna jarak menurutmu? Menurutku, jarak itu ujian. Luas
bentangannya yang terkadang tak terukur menguji seberapa tepat kita dapat
merasa, tanpa melihat. Dan, aku tetap dapat melihatmu, tanpa ada ragamu di
sisiku.
Senja
hampir berpulang, namun kau masih terlalu jauh dari jangkauan.
Regards,
=R=
No comments:
Post a Comment
Ungkapkan pikiranmu... :)
*Don't Forget to Leave Your Comment, Please!*