Sunday, March 18, 2012

Cerpen : Menelusur Rasa (Asa dalam Diam part 2)



Buat yang belum tahu bagian pertamanya, silakan baca dulu Asa dalam Diam #1

Dia masih hidup. Aku bisa melihatnya, menyentuhnya, dan mendengar napasnya yang teratur. Dia duduk disampingku, menekuri buku paket fisika—pelajaran yang kusukai. Dia tetap sama. Berbalut seragam putih abu-abu, dengan rambut lurus hitam yang tergerai indah. Aku mencoba memenangkan logikaku. Bagaimanapun, dia bukan dia yang kucintai. Dia orang yang berbeda, namun berparas sama. Dengan begitu, detak jantungku perlahan mulai berpacu normal kembali. Sesi perkenalan tadi masih terbayang jelas dalam ingatanku.

“Nama saya Cecilia Pratama Wijaya. Saya siswi pindahan dari Bandung.” Ia berkata lugas dengan sorot mata dingin dan tatapan lurus ke depan. Sedangkan teman-teman masih merasa takjub, sama sepertiku sebenarnya. Ia begitu serupa dengan Cecil.

“Bolehkah kita manggil lo Cecil?” celetuk Reno, cowok yang selama ini juga cukup dekat dengan Cecil. Mereka sama-sama suka menulis.

“Nggak. Gue bukan Cecil. Gue bukan adik gue. Kalian bisa manggil gue Lia.” ucapnya seraya menatap Reno tajam.

Semuanya langsung tersentak. Mungkin mereka baru benar-benar tersadar bahwa ia memang bukan Cecil (meski ia juga menyandang nama “Cecil”). Hanya parasnya yang sama persis dengan Cecil. Sedangkan sifatnya, sungguh bertolak belakang. Cecil orang yang ramah, ceria, dan supel. Sedangkan Lia pribadi yang dingin, agak pendiam, dan sepertinya juga jarang tersenyum. Tak lama, Bu Sita—Wali kelasku—mempersilakan Lia untuk duduk di sampingku setelah menyuruh Erwin—teman semejaku—untuk pindah duduk di belakang. Kata beliau, sebaiknya Lia duduk agak di depan (tempat dudukku terletak pada baris kedua dari depan) agar bisa cepat beradaptasi dengan pelajaran dan suasana kelas. Setelah ia duduk, aku menyapanya dan memperkenalkan diriku.

“Hai Lia, gue Kevin Daviano. Panggil aja Kevin.” ucapku sambil mengulurkan tangan kananku, bermaksud untuk menyalaminya.

“Hai.” balasnya seraya membalas uluran tanganku singkat.

Lia meletakkan tasnya, lalu mengeluarkan sebuah buku paket pelajaran fisika. Ia mulai menekuri buku itu, tidak memedulikanku sama sekali. Oh,
God.
***


“Lo laper nggak? Mau ikut gue ke kantin?” Kevin bertanya padaku saat jam istirahat tiba sambil memandangi wajahku dengan seksama.

Apakah dia dan semua orang di sekolah ini menganggap aku adalah Cecil? Ugh, aku benci semua orang yang selalu beranggapan seperti itu. Sebenarnya, aku tidak suka bersekolah di sini. Berada di sini membuatku seolah-olah menggantikan tempat Cecil. Aku tidak mau menggantikannya. Aku selalu ingin menjadi diriku sendiri. Namun permintaan Papa yang menyuruhku untuk menemani Mama di Jakarta tak bisa kutolak. Aku sangat menyayangi dan menghormati Papa. Aku tidak akan pernah menentang beliau. Hanya Papa yang bisa mengerti aku. Hanya Papa yang memandangku sebagai diriku sendiri, tanpa pernah membandingkan aku dengan Cecil. Jadi, di sinilah aku. Pindah ke Jakarta untuk menemani Mama, meninggalkan Papa sendirian di Bandung.

“Hei, kok malah ngelamun? Mau ikut nggak?” Kevin mencoba mengkonfirmasi ajakannya padaku.

Aku memandangnya sekilas, lalu berdiri dan berjalan menuju pintu. Kurasakan Kevin tidak bergerak, masih diam di tempat. Aku berhenti sejenak, menoleh ke belakang. “Ayo.” ucapku pelan, kemudian melangkahkan kakiku lagi.

Ketika pertama kali berkenalan dengannya tadi, aku langsung tersadar bahwa ia adalah Kevin yang selalu diceritakan Cecil padaku. Ya, Cecil memang selalu berkomunikasi denganku lewat e-mail. Dia menceritakan semua kejadian yang dialaminya padaku. Terkadang tentang Mama juga. Aku tahu bahwa Kevin itu sahabat karib saudara kembarku. Dan diam-diam Cecil mencintai Kevin.

Tak lama kami sudah berjalan di koridor sekolah, menuju kantin. Sepanjang perjalanan Kevin berceloteh tentang banyak hal. Entah apa yang dibicarakannya, perhatianku lebih tertuju pada bangunan dan halaman di sekolah ini. Hmm, ini sekolah yang cukup luas dan elit. Bangunannya megah, berlantai empat. Tamannya tertata rapi. Ada sebuah air mancur dengan kolam ikan di taman utama. Indah sekali. Tak heran rasanya jika Mama menyekolahkan Cecil di sini. Keluargaku memang cukup berada. Papa dan Mama sama-sama pengusaha sukses. Jadi, meskipun keduanya telah berpisah rumah (tetapi belum resmi bercerai) tidak ada pihak yang kekurangan materi. Namun sebenarnya aku tidak terlalu suka bergaul dengan orang kaya. Aku hanya merasa tidak nyaman. Saat aku tinggal bersama Papa di Bandung, aku meminta beliau agar menyekolahkanku di sekolah yang biasa saja. Aku senang Papa bersedia mengabulkan permintaanku itu. Jujur, aku lebih merasa nyaman tinggal di Bandung.

“Nah, kalau lantai empat itu tempat ruang ekstrakulikuler dan ruang loker untuk murid.” Kevin masih saja berceloteh ria.

Kami sudah sampai di kantin. Wow… ini kantin yang cukup besar dengan banyak jenis makanan yang serba lezat. Ukuran ruangan ini mungkin sama dengan ukuran ruang aula di sekolahku yang lama. Terdapat banyak meja bundar berukuran sedang yang tertata rapi dengan beberapa buah kursi yang mengelilinginya. Beberapa food court berjajar rapi di sekeliling ruangan itu.

“Lo mau pesen apa?” tanya Kevin.

“Nasi goreng sama orange juice.” jawabku cepat.

“Lo serius? Itu doang? Nggak mau yang lain? Steak, spaghetti, salad, milkshake, apa kek??!!”

Aku hanya mengedikkan bahu, dan mulai mencari tempat duduk. Aku hanya ingin makan nasi goreng siang ini. Biasanya, pagi-pagi sebelum berangkat sekolah, Papa selalu membuatkan sarapan untukku. Aku rindu dengan masakan Papa, terutama nasi goreng spesialnya yang superlezat. Semoga nasi goreng di kantin ini tak kalah enak dengan masakan Papa. Kudengar Kevin mengembuskan napas dengan berat, lalu mulai berjalan ke arah food court.
***

Lia makan dengan lahap. Spaghetti yang kupesan masih tersisa separuh. Namun aku enggan menyantapnya lagi. Kuraih vanilla late-ku dan mulai meminumnya perlahan. Tatapanku masih tertumbuk pada Lia. Sepertinya aku harus mulai terbiasa melihat wajah cantik itu tanpa menganggap dia adalah Cecil.

“Jangan ngeliatin gue terus. Berapa kali pun lo liatin gue, sampe bola mata lo keluar dari lubangnya, gue ini tetep Lia, bukan Cecil.” Lia berkata sambil meraih dan meminum orange juice-nya, dan menatap tajam padaku.

Ya ampun, judes amat sih ini cewek? Tapi kusadari juga bahwa aku memang bersalah. Mungkin dia merasa terganggu dengan kelakuanku itu.

Sorry. By the way, lo mau ikut ekskul apa? Ada banyak ekskul yang seru-seru lho di sekolah ini. Udah nentuin pilihan?”

“Udah, tadi gue udah disodorin angketnya sama Bu Sita.”

“Oh gitu, jadi… lo ikut apa?”

“Udah bel. Ayo balik ke kelas.” ucap Lia, kemudian berdiri, balik badan, dan langsung berjalan meninggalkan kantin. Ohh, aku harus belajar untuk bersabar mulai sekarang. Bagaimanapun, Lia kan teman semejaku, tidak mungkin jika aku harus bermusuhan dengannya selama setahun ke depan. Selain itu, Lia adalah kakak dari orang yang kusayangi. Aku akan menjaganya, demi Cecil.
***

Tok… tok… tok….

“Masuk.” sahut sebuah suara dari dalam ruangan.

“Maaf, Bapak memanggil saya?”

“Ya, Kevin. Silakan duduk.” balas Pak Herman, guru fisika sekaligus guru pembimbingku selama mengikuti olimpiade. Aku menarik sebuah kursi lalu duduk di hadapan beliau.

“Begini permasalahannya. Berhubung dalam olimpiade kemarin itu kamu berhasil meraih juara satu, maka otomatis kamu-lah yang akan mewakili provinsi Jawa Barat dalam olimpiade fisika tingkat nasional. Nah, saya baru saja menerima persyaratan yang baru dari pihak panitia pelaksana. Di dalamnya tertulis bahwa wakil dari setiap provinsi wajib memilih seorang rekan untuk mendampinginya dengan persetujuan dari guru pembimbing. Jadi, masing-masing provinsi mengajukan dua orang wakil.” jelas Pak Herman panjang lebar. Aku hanya mengangguk-angguk.

“Saya mengusulkan Lia sebagai rekanmu. Nilai fisikanya selalu bagus. Logika dan penalarannya juga cukup baik. Bagaimana? Kalau kamu setuju, kita bisa mulai mempersiapkan materinya minggu depan.”

Aku terperanjat mendengarnya. Aku harus bekerja sama dengan Lia?? Mana mungkin? Meski sudah beberapa bulan Lia sekolah di sini, namun sikapnya padaku tak pernah berubah. Tetap dingin. Tetap tidak peduli. Namun tak bisa kupungkiri juga bahwa ia memang sangat pintar. Tak heran jika Pak Herman memilihnya.

“Kevin? Bagaimana?” tanya beliau.

“Oh… eh… iya Pak. Saya setuju.” balasku agak tergagap.

“Bagus kalau begitu. Nah, berarti mulai besok, setelah pulang sekolah, kita belajar bersama di perpustakaan untuk menyiapkan materinya.”

“Baik, Pak.” sahutku pasrah.
***

Perkataan Pak Herman kemarin masih terngiang-ngiang jelas di telingaku. Beliau memintaku menjadi rekan Kevin dalam olimpiade fisika tingkat nasional. Aku merasa sedikit enggan, karena aku dan Kevin memang tidak terlalu akrab. Aku tahu, selama ini dia berusaha keras untuk menganggapku sebagai Lia. Sayang, usahanya tak sepenuhnya berhasil. Terkadang aku mendapati matanya sedang menatapku dalam, setengah melamun. Melamunkan siapa lagi? Cecil, tentu saja. Cintanya yang telah pergi ke dimensi lain. Ya, beberapa bulan mengenal Kevin, membuatku tahu kalau sebenarnya ia juga mencintai Cecil.

“Lia…” sapaan Kevin membuyarkan lamunanku. Aku menoleh singkat. Kevin telah duduk di bangkunya.

“Ehmm, lo udah tau soal olimpiade itu?” tanya Kevin pelan.

Aku mengangguk.

“Lo nggak keberatan kan, kalo harus berjuang sama gue?”

It’s ok.”

Thanks.”

No prob.”

Huh, sepertinya aku harus bisa sedikit melunakkan sikapku pada Kevin. Bagaimana mungkin kami bisa bekerja sama dengan baik kalau cara bicara kami saja kaku begini? Tapi aku benci sikapnya yang terkadang masih menganggapku sebagai Cecil, seolah-olah saudara kembarku itu masih hidup. Masih di sampingnya, selalu ada untuknya. Hmmfff, have a nice life, Lia!
***

“Pagi, Ma.” ucapku seraya menarik sebuah kursi di meja makan. Mama duduk di hadapanku, menyantap rotinya sambil sesekali mengetik sesuatu di laptopnya.

“Pagi.” balas Mama singkat tanpa memandangku.

Aku mengembuskan napas berat. Sejak kecil, aku selalu merasa Mama lebih sayang Cecil daripada aku. Aku tak pernah sekali pun mendapatkan perhatiannya. Tapi, Tuhan memang adil. Sebagai gantinya, aku mendapat perhatian penuh dari Papa. Tapi, tetap saja aku ingin merasakan perhatian dari seorang ibu. Bagaimana ya, rasanya dipeluk Mama? Pasti damai dan menenangkan. Betapa beruntungnya Cecil.

“Mama ada rapat penting pagi ini, jadi nggak bisa nganter. Mama pesenin taksi aja, ya?”

Perkataan Mama membuatku mengalihkan tatapanku dari roti di piringku, ke arah beliau. Aku mendesah kecewa. Kalau Cecil yang berada di posisiku sekarang, Mama pasti bela-belain terlambat menghadiri rapat demi mengantar Cecil ke sekolah. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Mama, suara bel telah memotong keheningan di rumah ini. Kulihat Bi Minah berjalan tergopoh-gopoh ke arah pintu depan. Tak lama, sesosok tubuh telah muncul di ruang makan.

“Pagi Tante, Lia. Maaf Tan, saya mohon izin untuk mengantar Lia ke sekolah hari ini. Nanti, saya juga yang akan mengantarnya pulang. Hari ini, sepulang sekolah kami harus mengikuti jam tambahan untuk mempersiapkan materi olimpiade.” Kevin berkata.

“Oh begitu, tentu saja boleh. Kebetulan sekali, Tante ada rapat pagi ini, jadi nggak bisa nganter Lia. Baiklah kalau begitu, Tante duluan ya.” ucap Mama seraya mengemasi laptop dan tas kerjanya.

“Mama berangkat.” Mama berkata tanpa memandangku, lagi.

Kevin menatap kepergian Mama dengan alis terangkat. Mungkin merasa heran melihat interaksiku dengan Mama yang terbilang dingin. Tentunya Kevin sudah terbiasa melihat hubungan antara Mama dan Cecil yang sangat dekat.

“Kevin, ayo… berangkat sekarang aja.” ajakku sambil menarik tangan Kevin dan berjalan di depannya.

Aku dapat merasakan keterkejutannya. Yeah, kalau dihitung-hitung, memang baru kali ini aku mau menyebutkan namanya. Aku harus mulai bersikap baik pada Kevin jika ingin sukses dalam olimpiade itu. Jika aku berhasil, mungkin Mama bisa mengubah sedikit saja perlakuannya padaku. Ya, dengan cara inilah aku menarik perhatian Mama. Dengan menunjukkan prestasiku, sebaik yang aku bisa.
***

“Lo kenapa?” tanyaku heran saat melihat Lia turun dari boncengan motor dengan wajah yang memerah dan berbintik-bintik kecil. Sepertinya bukan hanya pada wajahnya, tapi lengannya juga begitu. Lia masih sibuk menggaruk-garuk wajah dan tangannya yang terselubung jaket.

“Gue… alergi dingin.” ucapnya pelan seraya menengok kiri-kanan, mungkin malu jika keadaannya diketahui teman-teman. Kami masih berada di pelataran parkir sekolah. Hari memang masih terbilang pagi, dan semalam turun hujan lebat. Jadi, udara pagi ini cukup menusuk tulang.

“Kenapa lo nggak bilang? Lo boleh kok meluk gue tadi kalo emang kedinginan. Daripada begini?”

Lia hanya meringis.

“Ya udah, gue anter ke UKS aja, ya? Lo nggak usah ikut pelajaran dulu. Nanti gue bilang ke guru.” kataku, lalu melepas jaketku untuk menutupi bagian kepalanya.

Lia hanya mengangguk.

Kemudian, kurengkuh bahunya dan kugiring dia ke ruang UKS. Untung sekolah belum terlalu ramai. Tapi tetap saja ada beberapa siswa yang sudah masuk dan memandangi kami dengan heran. Sampai di ruang UKS, aku mendudukkannya di sebuah tempat tidur berukuran sedang, kemudian berbalik hendak mencari minyak angin atau apalah sejenisnya. Seperti tahu apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba Lia menahan lenganku.

“Nggak usah. Gue punya obatnya kok.” Lia berkata sambil meraih tasnya, dan mulai mengaduk-aduk mencari obatnya. Tak lama, dia sudah memegang sebuah saleb. Kulihat ekspresinya yang bingung sambil menengok kiri-kanan-depan-belakang.

“Lo nyari apa?” tanyaku heran.

“Cermin.” jawabnya singkat.

Oh, iya juga. Dia tidak bisa mengoleskan obat itu di wajahnya tanpa cermin.

“Sini, gue pakein.” ucapku seraya mengambil saleb itu, lalu duduk di sampingnya.

Kuturunkan jaketku yang menutupi kepalanya, lalu kuraih dagunya dan memutar wajahnya perlahan agar menghadapku. Kubuka tutup kemasan saleb itu, kukeluarkan isinya sedikit demi sedikit dan mulai mengoleskannya pada wajah Lia. Dengan jarak sedekat ini, kusadari kalau bola mata Lia berwarna hitam pekat dan terlihat kelam, berbeda dengan bola mata Cecil yang berwarna cokelat dan selalu berbinar ceria. Kami berpandangan cukup lama dan dalam. Entah kenapa, tatapanku tak bisa kualihkan. Tanpa dikomando, jantungku mulai berdebar kencang.

Thanks, Kevin. Sini, gue bisa pake sendiri buat yang di tangan.” Lia memecahkan suasana magis yang tiba-tiba saja menyelimuti ruangan ini. Kemudian ia meraih saleb itu dari tanganku.

Your welcome. Ya udah, gue balik ke kelas dulu.” ucapku agak grogi.

Lia mengangguk.

By the way, muka lo lucu juga kalo begitu. Kayak badut Ancol mau pentas. Hahaha….” kataku sambil memandangnya geli.

“Sialan lo.” balasnya.

Tapi tak urung ia tersenyum juga, membuat hatiku membuncah senang. Lia semakin cantik jika tersenyum (walaupun saleb itu membuatnya terlihat seperti badut). Dan lihatlah, ada sepasang lesung pipi saat ia mengembangkan senyumnya. Sangat manis. Tanpa bisa kutahan, hatiku menghangat.
***

Hari sudah petang, dengan mendung yang sangat kelam di langit. Sekolah sudah sepi. Hanya ada aku dan Kevin. Kami baru saja selesai mengikuti pelajaran tambahan dari Pak Herman. Sedangkan Pak Herman sendiri sudah pulang, dengan menaiki motor milik Kevin. Mobil beliau mogok. Tadinya, Pak Herman ingin memesan taksi, namun Kevin memaksanya untuk menggunakan motornya saja. Kevin tahu, rumah Pak Herman cukup Jauh dan beliau suka mabuk kendaraan kalau naik mobil jenis sedan (kebanyakan taksi kan berbentuk sedan). Kalau mencari bus pun pada jam segini sudah sangat sulit. Akhirnya, Kevin berhasil memaksa Pak Herman menggunakan motornya, sedangkan mobil Pak Herman sudah di bawa mobil derek dari sebuah bengkel. Sedangkan aku dan Kevin akan pulang naik taksi.

Kami berjalan di sepanjang koridor, menuju ke toilet. Aku ingin buang air kecil. Kevin berdiri di luar toilet selama aku memenuhi panggilan alamku itu. Setelah mencuci kedua tanganku dan membasuh wajahku di wastafel, aku beranjak ke luar.

“Ayo, kita pulang.” ucapku.

“Yuk.” balas Kevin, kemudian meraih tanganku, dan menggenggamnya erat. Hatiku mendadak terasa hangat. Diam-diam, aku tersenyum senang.

Kami sudah sampai di ujung koridor utama, akan berjalan menuju gerbang. Namun, tiba-tiba langkah Kevin terhenti. Kuikuti arah tatapannya. OMG!!! Kulihat di depan sana, gerbang utama telah tertutup rapat. Artinya, kami tidak akan bisa keluar dari sini. Sebab, gerbang itu hanya bisa dibuka dengan keycard yang dipegang oleh Pak Satpam atau Kepala Sekolah. Mau lompat pagar pun tak bisa, karena pagar sekolah ini adalah tembok setinggi lima sampai enam meter. Aku dan Kevil saling pandang. Oh, great. Selamat berkemah ria!!!
***

Pak Satpam pasti sudah pulang. Saat ia sedang memeriksa keadaan sekolah tadi, kami pasti sedang ada di toilet yang memang letaknya agak di belakang, sehingga luput dari perhatiannya. Mungkin ia merasa yakin sudah tidak ada orang di sekolah karena pelataran parkir juga sudah sepi. Tak ada satu buah kendaraan pun di sana.

Akhirnya, aku menyuruh Lia duduk di dekat koridor. Sedangkan aku berjalan ke halaman depan, berusaha mencari sinyal untuk ponselku agar bisa meminta bantuan. Tapi, baru beberapa langkah, tiba-tiba hujan sudah turun dengan lebat disertai guntur pula. Aku berlari terbirit-birit menuju koridor untuk berteduh. Kutolehkan kepalaku mencari Lia, tapi ia tidak kutemukan di mana pun.

“Lia? Lo di mana???!! Liaaaa???!!!” teriakku kalut.

Aku mulai panik. Kujelajahi semua ruangan yang ada di sekolah. Beruntung, tak perlu waktu yang lama sampai aku berhasil menemukan Lia. Dia ada di ruang kelas kami, duduk meringkuk di pojok belakang kelas. Kedua lengannya memeluk lutut, bahunya bergerak naik-turun. Kudengar suara sesenggukan darinya. Lia menangis. Aku mulai berjalan perlahan-lahan mendekatinya, ingin mencoba menenangkannya. Yeah, sepertinya aku memang akan terjebak semalaman di sekolah ini bersama Lia.


To be continued....



Regards,
=R=

2 comments:

  1. Lanjutkan !! hehe

    btw,
    Minta komen buat cerpenku juga donkk
    Bouillabaisse part 2 http://callmemilii.blogspot.com/2012/04/bouillabaisse-part-2.html
    thanks !

    ReplyDelete
  2. Ukey, berdoa sajalah. Lagi buntu nih, Ratu ide lagi pergi. :p

    Sudah kuberi komen tuh. SIlakan di cek. :)

    ReplyDelete

Ungkapkan pikiranmu... :)
*Don't Forget to Leave Your Comment, Please!*

Cara Mengembalikan Akun BBM yang Dibajak atau Dihack (Terkena Hack)

Beberapa hari yang lalu saya mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Akun BBM saya dibajak :( Pertama kali tahu dari teman saya yang ...