Tuesday, February 21, 2012

Cerpen : Asa dalam Diam


Hujan yang tadinya hanya turun rintik-rintik itu kini menjadi lebat, disertai dengan angin yang cukup kencang. Kevin yang sedang memboncengkan Cecil segera mempercepat laju motornya seraya mencari tempat berteduh. Penglihatannya tertuju pada sebuah rumah makan yang ukurannya tidak terlalu besar. Kevin menghentikan motornya tepat di depan rumah makan itu. Cecil segera turun dari boncengan dengan wajah cemberut. Mereka berjalan cepat memasuki rumah makan sederhana itu. Seragam putih abu-abu mereka terlihat agak basah.
“Yaelah, jangan cemberut gitu kenapa sih? Ntar cantiknya hilang lho. Hujannya lebat banget gini, mendingan kita neduh dulu aja.” ucap Kevin santai seraya merapikan rambutnya yang agak berantakan.
“Yah, tau gini mendingan gue di sekolah aja tadi, nungguin Elsa selesai rapat OSIS, terus nebeng dia deh. Pasti nggak bakal kehujanan begini. Huh, kenapa juga nyokap harus ada meeting dadakan sih??!! Dia kan jadi nggak bisa jemput gue, mana nggak bawa dompet lagi, jadi nggak bisa naik taksi. Terpaksa nebeng elo, kirain bakal cepet sampe, nggak tahunya malah kehujanan gini.” omel Cecil sambil menggosok-gosok kedua lengannya yang memeluk tubuh, berusaha menghalau dingin yang menyergap.
“Mana gue tahu bakalan hujan? Tadi kan terang-terang aja tuh langit. Lo kira gue turunan cenayang, bisa tahu masa depan? Udah syukur lo gue anterin pulang. Kalo lo diapa-apain sama preman usil di depan sekolah gimana coba? Lo kan tahu di sekolah tadi udah sepi. Pak satpam lagi cuti nungguin istrinya yang habis ngelahirin baby.” balas Kevin, kemudian ia melepaskan jaket tebalnya, dan menyelubungkan jaket itu pada tubuh Cecil. “Nih, pake aja. Bibir lo sampe biru gitu. Gue mau ganti baju. Kebetulan gue bawa kaos ganti buat latihan basket nanti.”
“Yah Kevin, jaketnya kan udah basah? Percuma doonnkk. Lo gimana sihhhh???!!!” balas Cecil kelewat histeris.
“Eh… iya, ya. Hehehe, sori. Oh, gue bawa kaus ganti dua kok. Yang satu buat Erwin, biasalah, dia selalu lupa bawa kaus ganti. Lo mau pake?”
“Kebesaran donk? Gue kan kecil imut gini. Badan lo aja udah kayak gajah gitu.”
“Dasar lo, udah ditawarin juga! Malah ngeledek gue, gue kan nggak gendut! Ya udah kalo nggak mau. Gue mau ke toilet dulu, ganti baju. “ Kevin berkata dengan santai, lalu bergegas menghampiri salah seorang pelayan di rumah makan itu, bertanya letak toilet. Dia agak ngambek sama Cecil yang meledeknya barusan. Masa gue dibilang gajah? Gue keren banget gini, banyak cewek yang ngantri jadi pacar gue! Protesnya dalam hati. Sebenarnya, Kevin memang tidak segemuk itu. Cecil saja yang terlalu berlebihan. Kevin mempunyai tubuh yang tinggi tegap, badan berisi dan berotot. Tidak gemuk, tidak juga kurus, cukup proporsional dengan kulit sedikit kecokelatan, wajah superganteng, rambut hitam legam, dan bola mata yang berwarna cokelat.
“Keviinnn!!! Tungguin gue!! Iya, gue ngaku salah. Gue kan cuma bercanda tadi. Sensi amat sih lo? Lagi dapet ya? Hahahaha….” Cecil yang telah berhasil menyusul Kevin langsung tertawa lepas. Ia memang suka sekali menggoda temannya yang satu ini. Kevin hanya bisa melotot ke arah Cecil, ingin marah, tapi tidak bisa. Amarahnya langsung teredam oleh wajah cantik Cecil yang semakin mempesona jika sedang tertawa, seperti saat ini.
“ Nih, pake aja. Nanti kalo udah, gue tunggu di meja pojok itu ya? Yang deket jendela.” perintah Kevin sambil menunjuk ke meja yang dimaksud setelah menyerahkan sebuah kaus pada Cecil.
“Siap laksanakan, Komandan!” balas Cecil dengan memberi hormat.
“Hahaha, bisa aja lo. Ya udah, gue duluan ke toilet cowok. Jangan lama-lama, ya.” ucap Kevin ringan, lalu memegang puncak kepala Cecil dengan sayang dan melenggang pergi.

Tak lama, Cecil keluar dari toilet wanita, sudah mengenakan kaus yang tentu saja kebesaran, tapi setidaknya kering dan nyaman dipakai. Ia melepas kucir rambutnya, membiarkan rambut lurus basahnya yang telah disisir rapi tergerai, dan langsung menuju ke meja yang tadi ditunjuk Kevin. Kevin sudah menunggunya di sana, sedang melamun melihat ke luar jendela, tatapannya memang tertuju pada jalanan di depan, namun pikirannya entah sedang terbang kemana.
“Woii!!! Ngelamun aja lo. Mikirin cewek ya? Bingung mau pilih yang mana, saking banyaknya cewek-cewek yang bertebaran di sekeliling lo?” ucap Cecil seraya menarik sebuah kursi di hadapan Kevin, lalu duduk di atasnya. Kevin telah memesankan segelas teh manis hangat untuknya, sedangkan Kevin sendiri memesan segelas kopi. Cecil menyesap teh manis hangatnya pelan-pelan.
“Enak aja lo bilang begitu. Eh, lo mau makan? Biar gue pesenin. Kalo gue sih udah kenyang, tadi habis makan sama anak-anak di kantin.”
“Nggak ah. Gue juga masih kenyang, tadi dibawain bekal sama Mama.”
“Oh, oke. Eh, tapi, ngomong-ngomong soal cewek, gue emang lagi bingung nih. Menurut lo gue mesti pilih yang mana?”
“Ya terserah elo, yang ngejalanin kan lo sendiri. Masa nanya ke gue sih? Apa pun pilihan lo, gue dukung kok, asal cewek baik-baik, jangan kayak mantan lo yang matre akut itu.”
“Ehmm, kalo gue maunya… elo… gimana?” Kevin berkata serius dan menatap langsung kedua bola mata Cecil yang juga berwarna cokelat.
“Hahaha, gue? Sama elo? Tunggu sampe dunia kiamat!!! Vin, gue itu udah tau baik buruknya elo, dan lo pasti juga begitu kan, ke gue?”
“Iya sih, tapi dengan begitu kita kan bisa saling melengkapi.” balas Kevin tak mau kalah.
“Buset, puitis amat lo? Tadi belajar ngegombal dari siapa? Gue tuh tau, biar tampang lo ganteng banget gini, tapi lo tuh nggak pernah bisa ngerayu cewek, apalagi ngegombalin mereka. Yang ada juga para cewek kecentilan itu yang ngerayu elo. Hahaha….” lagi-lagi Cecil menertawakan Kevin.
“Jadi… menurut lo, gue ganteng? Kalo menurut gue, lo itu cantik. Cantik banget.” ucap Kevin serius seraya menatap Cecil dalam. Akibatnya, Cecil langsung berhenti tertawa dan merasa jengah dengan tatapan Kevin. Ia memandang ke luar jendela, memandangi jalanan kota Jakarta yang cukup padat, dan hujan masih turun rintik-rintik. Cecil tidak berani membalas tatapan mata yang baginya selalu terasa teduh dan menenangkan itu.
“Hmmm, hujannya kok nggak reda-reda sih? Gue benci hujan. Gue lebih suka kepanasan daripada kehujanan. Setiap gue kehujanan, besoknya pasti langsung sakit.” Cecil berkata, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kalo gue sih justru suka banget sama hujan. Apalagi kalo hujan rintik-rintik gini, suasananya jadi romantis.” balas Kevin yang kemudian mengalihkan tatapannya ke luar jendela.
Cecil hanya bisa tersenyum geli bercampur heran. Nggak biasanya Kevin seperti ini. Baginya, Kevin adalah teman atau bahkan sahabat yang menyenangkan jika diajak ngobrol ataupun curhat. Tapi, hari ini ia merasa Kevin sangat berbeda. Sebenarnya, akhir-akhir ini Cecil mulai menyadari bahwa rasa sayangnya pada Kevin mungkin lebih dari sekedar sahabat. Saat mengetahui Kevin hanya dimanfaatkan oleh mantan pacarnya yang matre itu, ia turut sakit hati. Ia sampai menyalahkan dirinya sendiri, mengapa ia tidak menyadari perilaku cewek itu sejak awal. Namun, saat ia sadar bahwa ia telah jatuh hati pada Kevin yang baik, penyabar, humoris, pengertian, care, dan ganteng ini, Cecil memilih untuk menyembunyikan perasaannya. Keadaan yang memaksanya untuk berbuat seperti ini.
Tak lama, pembicaraan diantara Cecil dan Kevin kembali berjalan lancar, normal, seperti biasanya. Gelak tawa mereka yang terkadang terlewat keras membuat beberapa pengunjung lain merasa penasaran dan menoleh ke arah dua sejoli yang terlihat seperti sepasang kekasih itu. Beberapa saat kemudian, hujan sudah reda, dan Kevin langsung mengantar Cecil pulang ke rumahnya.
Thanks ya, Vin, atas tumpangannya. Sering-sering aja deh, hehehe. Hati-hati ya, jangan ngebut. Habis ini langsung latihan basket?” ucap Cecil di depan pagar rumahnya, setelah mengembalikan helm milik Kevin.
“Yeah, It’s a pleasure. Oke, gue nggak bakalan kebut-kebutan kok hari ini, tenang aja. Jalanan kan licin, habis hujan gini. Iya nih, langsung balik lagi ke sekolah. Ya udah, cepet masuk gih, terus mandi pake air anget, dan langsung tidur. Jangan nulis yang aneh-aneh dulu. Lo harus istirahat, oke? Gue duluan ya. See you tomorrow at school.” Kevin tahu betul kebiasaan Cecil yang hobi sekali menulis. Dari puisi, sampai cerpen. Jika sudah ada di depan laptop kesayangannya, ia tidak akan beranjak sampai ia selesai menuangkan ide-idenya.
Yes, Sir. See you too.” Cecil masih berdiri di depan pagar, memandangi kepergian cowok yang dicintainya, sampai sosok itu menghilang di tikungan. Ia mengembuskan napas berat, membuka pagar, lalu masuk ke dalam rumah. Badannya terasa pegal dan lemas. Menyembunyikan perasaan ternyata sangat sulit, juga melelahkan.
***
Pagi hari di SMA Tunas Bangsa. Kevin memasuki ruang kelasnya, XII IPA 2, sambil bersiul-siul riang. Setelah meletakkan tas, ia menengok kiri-kanan, mencari gadis yang dikasihinya. Terkadang Kevin merasa sedikit menyesal, karena ia baru bisa memahami perasaannya pada Cecil akhir-akhir ini.
“Doi belom dateng, man. Tungguin aja bentar lagi.” cetus Erwin, sahabat sekaligus teman semeja Kevin.
“Hmm, nggak biasanya Cecil belom dateng. Lima menit lagi udah masuk nih. Masa sih dia telat? Cecil itu cewek paling rajin dan disiplin yang pernah gue kenal. Biasanya pagi-pagi udah ngendon di kelas.” balas Kevin heran. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Saat Kevin menoleh, ia melihat Elsa, teman semeja Cecil.
“Udah, nggak usah ditungguin, Cecil nggak masuk hari ini. Dia sakit. Tadi pagi, nyokapnya ke rumah gue, nitip surat izin.” jelas Elsa.
“Oh, gitu. Lo tahu dia sakit apa? Parah nggak?” tanya Kevin merasa khawatir.
“Gue nggak begitu ngerti sih. Paling demam. Lo kan tahu, Cecil itu gampang banget sakit. Kehujanan dikit, langsung teler dia. Mungkin kemarin dia habis kehujanan lagi. Ya udah, gue balik ke meja gue dulu. Gue cuma mau lapor sama lo. Kalo nggak dikasih tau, lo pasti udah kayak cacing kepanasan sepanjang pelajaran nanti, nungguin Cecil yang nggak dateng-dateng. Yuk, ah.” Elsa melenggang pergi.
Selepas kepergian Elsa, Kevin langsung merasa bersalah. Kemungkinan besar Cecil jatuh sakit karena ia mengantar Cecil pulang kemarin sambil hujan-hujanan. Mereka memang sempat berteduh, tapi ia sudah tahu bahwa daya tahan tubuh Cecil itu sangat lemah. Sepanjang pelajaran, Kevin tidak bisa berkonsentrasi. Ingin rasanya ia memutar jarum jam, agar bel pulang lekas berbunyi, jadi ia bisa menjenguk Cecil, dengan membawakan sepotong cokelat kesukaannya sebagai tanda pemohonan maaf.
Saat bel pulang sekolah telah berbunyi, Kevin langsung berdiri, kemudian langsung memasukkan saja semua buku-bukunya tanpa ia tata rapi seperti biasanya. Ia ingin segera melihat Cecil.
“Mau kemana lo? Buru-buru amat. Lo lupa ya, hari ini kita ada janji latihan sama Pak Baskoro, turnamen basket kan sebentar lagi. Lo bisa aja dikeluarin dari team kalo sampe berani nggak hadir.” Erwin memperingatkan. Kevin langsung tersadar, lalu terduduk kembali dengan pasrah. Mungkin ia bisa menjenguk Cecil besok, jika gadis itu belum juga masuk sekolah.
Hari berikutnya, sepulang sekolah Kevin langsung tancap gas menuju rumah Cecil. Sampai di sana, yang berhasil ia temui hanya Bi Minah, pembantu di rumah Cecil.
“Maaf Den, Non Cecil belum bisa dijenguk. Nyonya pesen, Non harus banyak tidur, biar cepet sembuh.”
“Ya udah kalo begitu Bi. Tolong sampikan ke Cecil ya, kalo saya datang, dan ini tolong dikasihkan ke dia. Terima kasih Bi, saya permisi.” ucap Kevin seraya menyodorkan sebuah bingkisan berisi cokelat dan buah-buahan.
Kevin berjalan menuju motornya yang terparkir di halaman. Ia sedikit heran, biasanya Cecil selalu bisa dijenguk. Baru dua hari Kevin tidak melihat Cecil, tapi ia sudah merasa kangen luar biasa. Ingin sekali ia mendobrak pintu rumah Cecil dan menerobos masuk. Namun akal sehatnya masih bisa menahan kehendak hatinya itu.
Sampai beberapa minggu, Cecil tidak kunjung masuk sekolah. Kevin yang mulanya merasa sangat khawatir, kini tak lagi sempat memikirkan Cecil. Pikiran dan tenaganya ia curahkan untuk persiapan turnamen basket dan olimpiade fisika minggu depan. Kala malam menyapa, saat Kevin berusaha melepas lelah di tempat tidurnya, pikirannya langsung tertuju pada Cecil. Gadis cantik dengan kulit putih bersih, badan tidak begitu tinggi dan agak kurus, rambut lurus sebahu berwarna hitam legam, dan kedua bola mata yang berwarna cokelat, persis seperti miliknya. Wajah Cecil telah berhasil mengusik pikiran Kevin, bahkan terbawa hingga ke alam bawah sadar. Kevin menikmatinya, sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Jika tidak bisa melihat Cecil di alam nyata, lewat mimpi pun tak apa. Setidaknya, ia bisa melihat wajah gadis yang sangat dicintainya.
Turnamen basket dan olimpiade fisika telah dijalani Kevin dengan sukses. Ia berhasil menyabet juara satu untuk keduanya. Pagi ini, ia berangkat ke sekolah dengan cukup riang, walaupun benaknya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Cecil. Kevin sudah beberapa kali datang ke rumah Cecil, namun yang ia temui selalu Bi Minah, dengan jawaban yang tetap sama, bahwa Cecil tidak bisa diganggu dan perlu istirahat. Sampai di kelas, ia melenggang ke tempat duduknya, seperti biasa. Ia memandang Erwin dan teman-teman sekelas lainya, yang sedang menatapnya dengan sorot mata aneh.
“ Ada apa sih, Win? Kok semuanya pada ngeliatin gue kayak gitu?” tanyanya heran.
“Ehmm, gini Vin, Eh, elo tenang dulu ya, nggak usah pake emosi. Elo harus tenang, sabar.” Erwin justru berbelit-belit.
“Ahh, udah cepetan bilang ke gue ada apa.” balas Kevin tak sabar.
“Ehmm, itu.. si Cecil. Dia ternyata sakit parah, udah lama. Sekarang dia ada di rumah sakit Harapan Bunda. Gue juga baru tahu dari guru-guru tadi. Mereka berencana menjenguk Cecil pulang sekolah nanti.” Erwin menjelaskan pelan-pelan. Benak Kevin mendadak kosong. Tanpa pikir panjang, ia langsung meraih tasnya seraya berkata, “Tolong bilangin ke guru kalo gue izin hari ini. Bilang aja gue sakit. Kalo ketahuan bohong, nanti gue yang tanggung resikonya. Tolongin gue ya Win, thanks bro. Gue cabut.” pinta Kevin. Erwin hanya mengangguk, ia mengerti gejolak batin yang dialami Kevin.
Kevin melajukan motornya secepat mungkin, bahkan beberapa kali melanggar lampu merah. Sampai di rumah sakit, ia langsung bertanya nomor kamar Cecil pada resepsionis.
“Ruang melati nomor 333, Mas. Naik lift ke lantai tiga, lurus sedikit, lalu belok kanan.”
“Terima kasih.” Kevin bergegas menuju ruangan yang dimaksud. Ia menenangkan hatinya sejenak di depan pintu. Setelah agak tenang, ia berusaha memasang sebuah senyuman, lalu mengetuk pelan pintu kamar itu, dan masuk ke dalam secara perlahan. Tatapannya tertuju ke arah Cecil yang terlihat pucat, dan semakin kurus. Di samping pembaringannya ada mama Cecil yang sedang mengusap kedua matanya yang basah, seperti habis menangis.
“Pagi, tante. Gimana keadaan Cecil?” tanya Kevin pelan.
“Seperti yang kamu lihat, Vin. Tante tinggal sebentar ya, mau ketemu dokter. Tante titip Cecil sebentar ya.” pinta mama Cecil sambil berdiri.
“Ya, tante.” sahut Kevin.
“Hai. Udah baikan? Kenapa lo nggak bilang sama gue kalo selama ini lo dirawat di rumah sakit? Gue khawatir banget sama lo.” ucap Kevin pelan sambil duduk di kursi di samping tempat tidur Cecil.
“Hai juga. Udah mendingan, tapi kayaknya akan semakin memburuk. Gue nggak bilang karena gue nggak mau ngerepotin lo dan temen-temen.” jawab Cecil lirih.
“Lo jangan ngomong begitu. Lo harus optimis. Lo pasti bisa sembuh. Gue nggak pernah ngerasa direpotin sama lo.” balas Kevin.
“Kevin, gue mau jujur sama lo. Sebenarnya, selama ini gue sakit. Lo tahu kan kalo kondisi tubuh gue ini lemah banget. Ini karena dari bayi, gue cuma punya satu ginjal. Dari kecil, gue selalu bergantung sama obat-obatan. Kata Mama, dokter pernah bilang kalo gue mungkin hanya bisa bertahan selama beberapa tahun aja. Tapi, Mama nggak pernah menyerah dan tetap merawat gue. Bisa hidup sampai sekarang, sudah merupakan suatu mukjizat buat gue. Apalagi, karena… gue bisa… ketemu sama… elo.” Cecil berkata dengan terengah-engah.
“Ssstt, udah. Lo jangan banyak ngomong dulu. Gue juga bersyukur bisa ketemu sama lo.” balas Kevin seraya mengusap pipi Cecil yang cekung dengan lembut. Tak lama, mama Cecil telah kembali ke kamar.
“Mama, Cecil sayaaanngg banget sama Mama. Mama harus tegar, jangan nangis lama-lama buat Cecil. Suatu saat, Mama… harus… bahagia. Jan… ji?” pinta Cecil.
“Iya sayang, Mama janji.” Mama Cecil sudah mulai menangis lagi, seraya menggenggam tangan anaknya.
“Kevin, lo juga. Jangan tangisin gue lama-lama ya. Gue punya sesuatu… buat… lo. Dibaca ya? Jan… ji?”pinta Cecil dengan suara yang semakin lemah.
“Iya, gue janji.” balas Kevin. Ia mulai mendapat firasat buruk. Ia merasa bahwa ia harus mengungkapkan perasaannya pada Cecil sekarang juga.
“Cecil, sebenernya, aku… udah lama sayang sama kamu. Bukan hanya sebagai sahabat, tapi rasa sayang cowok ke seorang cewek. Aku… cinta sama kamu.” Kevin berkata seraya menatap Cecil dalam.
“Aku tahu Vin. Aku… juga sayang sama kamu. Rasa sayang cewek ke seorang cowok. Aku… juga cinta sama kamu. Tapi, sekarang… aku… harus pergi. Relain aku… Vin.” pinta Cecil terbata-bata.
“Kamu jangan ngomong begitu! Kamu harus sembuh!!! Aku mau kamu dalam hidupku. Please Cil, bertahanlah. Aku janji bakal selalu jagain kamu. Aku janji!” balas Kevin mulai histeris.
Cecil hanya tersenyum dan memandang Kevin dalam, lalu menoleh ke arah ibunya.
“Mama, maafin Cecil, kalo selama ini… Cecil udah ngerepotin Mama… atau bikin salah… sama Mama. Cecil… sayang… Mama.” ucapnya lirih. Mamanya hanya bisa mengangguk pelan dan berkata, “Mama juga sayang Cecil. Cecil anak baik, Mama nggak pernah merasa direpotin.”
“Kevin, I… love… you. Sampai… bertemu… lagi.”Cecil terlihat menahan sakit, kemudian kedua matanya terpejam untuk selama-lamanya. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum.
“Cecillll!!!!” teriak mamanya, lalu menekan tombol darurat untuk memanggil dokter. Dokter kemudian datang, mengecek keadaan Cecil dan berkata bahwa Cecil sudah pergi.
“Cecil… I love you too. Selamat jalan, dan sampai jumpa lagi.” ucap Kevin lirih, seraya mengelus kepala Cecil pelan. Air mata bergulir perlahan dari kedua sudut matanya, dan jatuh menetes ke pipi Cecil. Sekali lagi, Kevin telah kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
***
Sore itu, cuaca sangat cerah dan angin bertiup sepoi-sepoi. Banyak orang yang mengantar jenazah Cecil, menuju tempat peristirahatannya yang abadi. Di pemakaman itulah, Kevin melepas kepergian gadis yang sangat dicintainya. Terdapat juga beberapa teman sekolah, guru-guru, dan kerabat lainnya. Mereka semua berpakaian serba hitam. Tak lama, sedikit-demi sedikit dari para pelayat itu meninggalkan makam Cecil. Akhirnya, hanya tertinggal Kevin dan mama Cecil di sana.
Kevin berjongkok, memegang batu nisan Cecil dan mengelusnya pelan. Sesekali air mata masih menetes dari kedua sudut matanya. Ia membaca tulisan yang tertera di sana. Cecilina Pratama Wijaya. Lahir 11-11-1994. Wafat 09-12-2011. Mama Cecil berjongkok, menyejajarkan dirinya dengan Kevin, lalu meyodorkan sebuah kertas kepada Kevin.
“Cecil nitipin ini ke tante. Katanya harus diberikan ke kamu.” ucap Mama Cecil pelan.
Kevin mengusap kedua matanya, dan meraih kertas itu. Ia membukanya dan langsung membaca pesan terakhir dari Cecil.

Dear Kevin, buka e-mail kamu. Ada sedikit coretan dariku untukmu.
With love, Cecil.

Dahi Kevin berkerut heran membacanya. Saking sibuknya Kevin berpikir, ia sampai tidak menyadari kehadiran seseorang yang telah ikut berjongkok disampingnya. Saat ia menoleh memandang sosok itu, jantungnya serasa akan melompat keluar. Gadis itu Cecil, memakai pakaian serba hitam. Merasa dipandangi oleh Kevin, gadis itu menoleh singkat, mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu menaburkan bunga ke atas makam. Kevin terlihat masih shock. Ia berpikir dalam hati, kenapa Cecil masih di sini? Apa dia roh? Tapi di bisa menyentuh keranjang bunga itu. Gadis itu menoleh lagi, kali ini menatap mama Cecil, lalu berkata, “Maaf Ma, aku telat.” ucap gadis itu santai, dan mama Cecil hanya mengangguk pelan. Tinggallah Kevin masih yang masih terbengong-bengong sendirian. Jantungnya berdebar keras, kedua telapak tangannya terasa dingin. Ia masih lekat memandang wajah itu. KENAPA CECIL BISA ADA DUA??!!! Pikir Kevin dalam hati.


To be continued....



Regards,

=R=

4 comments:

  1. Udah kok.. tapi baru yang part 2, hehehe klik aja link 'to be continued'...

    ReplyDelete
  2. What I like about asa dalam diam :
    first of all : Aku suka sama percakapan antartokohnya ! :D terkesan mengalir dengan lancar..
    jadi pembaca juga bisa ngerasain kalo Cecil dan Kevin itu udah sohib deket banget hehe
    Kedua : Agak aneh sih sebenernya, tapi aku terpesona dengan nama panjangnya cecil ,, Cecilina pratama wijaya. That makes me feel something :)
    hehe sgitu dulu aja ya .. cerpen kamu bagus kok (y)
    Minta komen buat cerpenku juga donkk
    Bouillabaisse part 2 http://callmemilii.blogspot.com/2012/04/bouillabaisse-part-2.html
    thanks !

    ReplyDelete
  3. @unknown_user:
    Thanks... :)

    Wah, nama panjangnya Cecil itu mikirnya lama banget loh, soalnya harus dipadankan dengan nama tokoh Lia yang ada di part 2. Biar agak nyambung, gitu. Hehehe. :p Syukur deh kalo suka. :D

    Ukey, udah dikasih komen tuh! Di cek aja, sobat. ^.^

    ReplyDelete

Ungkapkan pikiranmu... :)
*Don't Forget to Leave Your Comment, Please!*

Cara Mengembalikan Akun BBM yang Dibajak atau Dihack (Terkena Hack)

Beberapa hari yang lalu saya mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Akun BBM saya dibajak :( Pertama kali tahu dari teman saya yang ...