Thursday, February 23, 2012

Malaikat Mungil tak Bersayap



Malam ini, ba’da maghrib aku berangkat les ke rumah guruku. Rasa frustasi mungkin sudah menghiasi wajahku, bukan karena memikirkan rumus-rumus fisika yang akan kupelajari. Ini tentang masalah yang baru-baru ini muncul dalam hidupku. Masalah yang kemungkinan besar tidak akan dialami oleh teman-teman sebayaku, sehingga mereka tidak dapat merasakan apa yang kurasakan. Hanya tentang itu. Sewaktu kecil, aku menganggap hal itu tidak begitu penting. Maklum, aku belum bisa memahami semuanya waktu itu. Kupikir, ke depannya juga tidak akan apa-apa. Toh, sampai sekarang pun aku masih baik-baik saja. Hingga hari itu tiba. Duniaku serta merta berubah. Sepertinya semua orang mengira bahwa aku baik-baik saja. Aku senang dengan hal itu. Aku memang sengaja menyembunyikannya, belum siap untuk berbagi dengan siapa pun.

Aku mengeluarkan motor kesayanganku, lalu tancap gas ke tempat les. Kuakui, aku sedikit ngebut. Aku menengadah, memandang langit yang gelap dan suram. Mendung bertengger dengan santainya di sana. Menutupi sang bulan dan para bintang yang ingin menunjukkan kemilaunya di bumi. Cahaya kilat sesekali nampak mendampingi sang mega mendung. Sampai di perempatan lampu merah, kuhembuskan napas dengan kesal setelah melihat timer lampu merah itu. Masih lebih dari satu menit lagi sampai lampu hijau kembali menyala. Aku mengetuk-ngetukkan kakiku pada aspal jalan, menunggu dengan tidak sabar. Dari sudut mataku, kulihat sesosok tubuh menghampiriku dari sisi kanan. Saat aku menoleh, ternyata hanya seorang anak laki-laki. Mungkin berusia sekitar enam atau tujuh tahun. Tubuhnya kecil mungil, berbalut kaus bermotif garis-garis putih abu-abu, celana lusuh selutut, dan sepasang kaki yang telanjang, tanpa memakai sandal. Aku terenyuh ketika melihat bocah kecil itu menengadahkan tangan kanannya padaku dengan kedua matanya yang bening, dan pupil mata yang berukuran sedikit lebih besar daripada pupil mata orang dewasa.


Aku langsung tersadar. Betapa egoisnya aku ini. Andaikan aku mau sedikit saja berpikir dan merenungkan kehidupan yang kumiliki. Aku masih memiliki orangtua kandung yang lengkap. Ada mama. Ada papa. Hidupku berkecukupan, dengan fasilitas yang lumayan lengkap. Aku punya rumah untuk tempat berteduh dari panas ataupun hujan. Aku bisa bersekolah setinggi yang aku mau. Aku memiliki teman-teman dan sahabat-sahabat yang baik. Wajahku cukup lumayan, walaupun nggak secantik Christine Stewart. Otakku juga cukup lumayan, meskipun tidak secemerlang Albert Einstein. Aku jauuuhhhhh lebih beruntung dari anak itu. Aku mulai berpikir,

Apakah anak itu masih punya orangtua?
Ayah? Atau Ibu?
Atau justru mereka yang memaksanya berbuat seperti itu?
Apakah dia bersekolah?
Apakah dia sudah makan hari ini?
Atau ia harus menahan lapar sampai ada seseorang yang berbaik hati, dan mau memberinya uang recehan?

Ya, malaikat mungil itu telah menyadarkanku, bahwa aku melupakan sesuatu yang sangat penting dalam hidup ini. Aku lupa untuk bersyukur, atas apa yang telah diberikanNya padaku selama ini. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung merogoh saku jaket, berharap menemukan sedikit rupiah. Ternyata nihil. Kualihkan kedua tanganku, lalu merogoh saku celana jeans kesayanganku. Ternyata nihil juga. Aku teringat bahwa aku memasukkan dompetku ke dalam tas ransel yang sedang nangkring di punggungku. Saat aku hendak mengambil dompet, lampu kuning mulai menyala, menandakan lampu hijau akan menyusul. Aku langsung menggelengkan kepalaku ke arah anak lelaki itu dengan wajah sedih, kemudian mulai menjalankan motorku kembali, jika tidak ingin dicaci maki oleh para pengendara lainnya yang ada dibelakangku. Aku melaju dengan perasaan tak keruan. Niat hati ingin memberikan sedikit yang kupunya pada bocah kecil yang telah menyadarkanku itu. Mungkin sedikit rupiah itu tidak begitu berarti bagiku. Paling hanya buat bayar parkir atau beli permen. Tapi, untuk anak itu mungkin akan sangat berbeda keadaanya. Aku menyesal, dan berdoa dalam hati, semoga bocah itu masih di sana saat aku pulang les nanti.

Aku sampai di rumah sahabatku yang satu les denganku. Sebelum aku turun dari motor, ia sudah keluar dengan memakai kaus putih, celana selutut, dan handuk yang membungkus rambutnya. Sepertinya habis keramas.
“Hehehe, sori ya, kita nggak jadi les. Mbaknya lagi sakit. Aku udah sms kok, belom kamu baca, ya?” katanya. Aku langsung mengeluarkan hp-ku dan mengeceknya. Yups, memang ada pesan di sana. Aku langsung nyengir, “Oh, aku emang nggak ngecek hp dari tadi. Ya udah, aku cabut aja. Bye.” ucapku seraya memutar motor.
“Oke, bye. Hati-hati.” sahutnya pelan.
Sepulang dari sana, sebenernya aku ingin langsung menuju perempatan lampu merah itu lagi. Tapi aku mampir sebentar ke warnet, mau nge-print tugas bahasa inggris, naskah salinan buat ujian praktek besok. Soalnya, printer di rumah lagi ngadat. Sampai di sana, mas-mas yang jaga malah berceloteh ria dan agak sok akrab.
“Ini juga harus dihapalin? Terus disuruh maju gitu?” celotehnya sambil cengengesan.
“Iya.” kujawab singkat.
“Susah nggak ngapalinnya?”
“Nggak.”
“Kalo susah, anggep aja teksnya itu jalan pulang ke rumah. Pasti hapal tuh. Tenang aja. Tinggal bayangin, pasti teksnya langsung muncul di kepala.” Ehh ni orang. Udah dibilangin juga kalo aku nggak kesulitan ngapalin teksnya, masih aja komentar. Kalau cuma bahasa Inggris, masih bisa kuatasi, asal jangan bahasa Jepang. Ampun deh.
“Iya, makasih.” balasku singkat. Si mas masih cengengesan.

Selesai nge-print aku langsung tancap gas ke perempatan itu lagi, sudah menyiapkan sedikit rupiah di saku jaket untuk anak itu. Sampai di sana, lampu merah sedang menyala. Aku celingukan kanan-kiri-depan-belakang nyari tuh bocah. Hatiku langsung mencelos saat menyadari bahwa ia sudah pergi. Sungguh, aku sangat menyesal. Tau gitu mending nge-printnya belakangan aja tadi. Sampai lampu hijau kembali menyala pun, aku masih belum bisa menemukan anak itu lagi. Sepertinya ia sudah pergi. Hmmff, rasa sesal yang dalam menyelimuti hatiku. Aku ingin sekali berbagi padanya. Kepada anak itu, yang telah menyadarkanku. Aku hanya bisa pasrah dan melajukan motorku kembali pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, kedua mataku merebak, terasa perih. Wajah anak itu terus terbayang-bayang dalam ingatanku. Aku hanya bisa berdoa dalam hati.

Ya Allah, lindungilah anak itu. Apakah ia malaikat utusanMu untuk menyadarkanku? Apa pun tujuanMu, aku berterima kasih, karena Engkau telah mempertemukanku dengan dia. Semoga ia tidak kedinginan atau kelaparan. Dimana pun anak itu berada, aku berdoa agar dia selalu dalam lindunganMu.

Ya Allah, maafkan aku yang lupa bersyukur.
Maafkan aku yang lupa untuk bersedekah.
Maafkan aku yang lupa dengan arti berbagi.
Maafkan aku yang selalu mengeluh dengan hidupku.
Maafkan aku yang selalu tidak puas dengan apa yang telah Engkau berikan.
Maafkan aku yang terkadang lupa mengingatMu dikala senang.
Maafkan aku.
Maafkan aku.
Sungguh, maafkan aku.
I’m begging You, please, forgive me, Ya Allah.

Ya Allah, dampingilah aku selalu. Jangan tinggalkan aku. Tuntunlah aku menuju jalanMu. Berikanlah kekuatan padaku untuk menghadapi semua ini. Kuatkanlah aku, ya Allah. Apapun takdir yang telah Engkau gariskan untukku, aku akan menerimanya dengan ikhlas. Engkau pun tahu, kebahagiaan kedua orangtuaku, khususnya Mama, adalah kebahagiaanku juga. Aku senang, jika mereka senang. Lindungilah mereka selalu. Apa pun yang bisa membuat kedua orangtuaku bahagia, aku akan melakukannya. Aku akan belajar untuk sabar, tegar, dan ikhlas. Amin.



Regards,
=R=

No comments:

Post a Comment

Ungkapkan pikiranmu... :)
*Don't Forget to Leave Your Comment, Please!*

Cara Mengembalikan Akun BBM yang Dibajak atau Dihack (Terkena Hack)

Beberapa hari yang lalu saya mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Akun BBM saya dibajak :( Pertama kali tahu dari teman saya yang ...