Monday, January 30, 2012

Bayangan yang Memudar



Aku berjalan perlahan melewati tangga sekolah menuju lantai dua. Di tengah perjalanan, aku berpapasan denganmu. Aku hanya melirikmu sekilas, tak cukup berani untuk menyapamu. Tatapan matamu lurus, kosong, dan hampa. Aku menguatkan hati untuk tetap meniti tiap-tiap anak tangga itu. Sesampainya di lantai dua, aku melihat mereka. Saling memandang, tersenyum bahagia dengan mata yang berkaca-kaca. Air mataku tak bisa kutahan lagi, mendesak ingin keluar, hingga tenggorokanku terasa sakit saat aku berusaha menahannya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari menuruni tangga seraya membiarkan semua luapan emosi itu keluar. Aku menangis. Tiba di lantai dasar, penglihatanku tertuju padamu. Di sanalah dirimu berada. Berdiri menjulang, sedang bercakap-cakap dengan salah seorang temanmu dengan ekspresi wajah yang sedang marah, atau kecewa? Tiba-tiba kau berpaling ke arahku, menatapku dengan dahi berkerut heran. Tanpa kusadari, kedua kakiku ini langsung saja berlari ke arahmu, dan kedua tanganku ini langsung memeluk tubuhmu erat. Awalnya kau bingung, aku bisa memakluminya. Namun tak lama kedua tanganmu mulai membalas pelukanku dengan hangat dan erat. Rasanya nyamaaann sekali.
“Tolong… huhuhuhu… tolongin aku. Hikz… hikz….” ucapku masih sesenggukan.
“Hei, tenanglah. Ada apa? Kenapa nangis?” ucapmu lembut.
“Itu… hikz… hikz… mereka… huhuhu….” aku tak sanggup menjelaskannya padamu.
Kau merenggangkan pelukanmu dan memegang kedua lenganku seraya menatapku lembut. “Kamu harus tenang dulu. Ikut aku yuk?” ajakmu seraya merengkuh bahuku dan menggiringku pelan, menjauhi tempat itu. Aku hanya bisa mengangguk pasrah dan mengikutimu.

Kedua mataku langsung terbuka, dengan kepala pening dan berdenyut-denyut sakit. Aku memandangi keadaan di sekelilingku. Di mana dia? Ucapku dalam hati. Tak perlu waktu yang lama bagiku untuk menyadarinya. Oh, sh*t!! Cuma mimpi. Aku menggeram kesal, lalu mengembuskan napas dengan berat. Oh, kumohon. Jangan datang lagi dalam mimpiku. Aku sudah cukup tersiksa saat melihatmu di sekolah setiap hari tanpa berani menyapamu. Aku tak sanggup. Perlahan, aku memaksa tubuhku untuk bangun dari posisi tidurku dan duduk di pinggiran tempat tidur . Kenangan itu berkelebat lagi dalam benakku. Hanya sebuah kenangan.
Hampir dua tahun yang lalu, saat kita masih sekelas (saat kelas 10). Aku selalu duduk di depan bangkumu. Waktu itu yang memilih tempat duduk memang bukan aku, tapi teman semejaku, karena aku memang selalu berangkat agak siang. Dia selalu memilih tempat duduk di pinggir, dekat jendela. Dan kau selalu duduk dibelakang kami, dengan teman semejamu, tentu saja. Awalnya kita tidak akrab, sangat jarang berbicara malah. Yah, karena aku selalu merasa canggung jika harus mengobrol dengan anak cowok. Tapi, lama-kelamaan kusadari juga kalau kau itu ternyata teman yang menyenangkan. Lucu, gokil, seru, dan… yah, sedikit keren (hahaha , aku tidak akan berani bilang seperti ini jika sedang berada dihadapanmu! :D).
Aku paling suka waktu kita diskusi tentang film. Yang paling seru waktu bahas film X-Men yang terbaru. Kau bersemangat sekali—sama sepertiku. Kita bisa tertawa lepas waktu itu. Ingin sekali rasanya mengulang saat-saat itu lagi. Tapi, tentu saja itu tidak bisa. Aku juga ingat sewaktu kau kebagian mengoreksi ulanganku (mapel apa ya waktu itu? Sepertinya bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Entahlah, aku sedikit lupa). Saat kutengok nilaiku, aku langsung merasa kecewa. Yahh, cuma dapet delapan puluh. Padahal targetku waktu itu harus bisa dapet sembilan puluh. Sepertinya kau menangkap rasa kecewa itu dalam ekspresi wajahku, karena kau langsung berkata, “Udah bagus kok, nggak pa-pa.” ucapmu seraya tersenyum manis yang kubalas dengan senyum kecut. Namun tak bisa kupungkiri hatiku sangat senang, karena kau bersedia menghiburku. Rasanya seperti ada ribuan bunga berwarna-warni memenuhi rongga hatiku (hehe, lebay ya?). Tak lupa tingkah lucumu saat sedang membersihkan kacamata yang kau pakai. Hahaha, selalu ada yang menggelikan saat kau melakukannya. Membuatku selalu tersenyum saat melihatnya. Aku menyukai wajahmu jika sedang memakai kacamata. Terlihat lucu, pintar, dan sedikit serius. Padahal kau itu orangnya rame, seru, suka bercanda, dan konyol juga.




Momen kenaikan kelas menjadi saat-saat yang paling suram bagiku. Bagaimana tidak? Kita pisah kelas. Begitu juga aku dengan ketiga sahabatku yang lain, kami semua beda kelas. Kau hanya melambaikan tangan dan tersenyum padaku sebelum masuk ke kelas barumu. Aku hanya membalas dengan senyum singkat. Di acara ultah sekolah, kau masih menyapaku (saat aku mebawa tumpeng yang superbart itu bersama beberapa orang temanku yang lain) dan bercanda sekilas denganku. Namun beberapa bulan kemudian, kau berhasil membuatku jatuh. Dan apakah kau tahu? Sakit sekali rasanya. Aku sedang ngobrol bersama dengan salah seorang sahabatku di depan kelas sepulang sekolah waktu itu. Tak lama, kau melintas bersama seorang cewek—tertawa-tawa bahagia bersama. Aku sudah hampir menangis waktu itu. Kau sempat melihatku sekilas—aku menyadarinya. Namun, kau tak memandangku lagi. Refleks, aku bertanya pada sahabatku. “Ehh, hmm… dia… udah jadian ya?” tanyaku seraya mengedikkan kepala ke arahmu. “Iya, baru beberapa hari yang lalu kayaknya.” jelas sahabatku. “Oh.” Apalagi yang bisa kukatakan?
Bagian tersulit saat mencintaimu adalah melihatmu mencintai orang lain... (Orange, by Windry Ramadhina)
Sejak itu aku merasa kau semakin menjauh. Menyapa pun tidak. Aku juga tidak berani menyapamu duluan, takut dikira macam-macam oleh pacar barumu itu. Namun aku tahu, kau selalu melirik ke arahku saat berjalan melewati kelasku. Aku hanya bisa diam. Hanya berselang dua minggu, aku dengar kabar bahwa kau sudah putus. Katanya, cewek itu yang memutuskan hubungan kalian. Aku ikut merasa sedih. Kau pasti sangat terluka. Suatu hari, saat aku berangkat sekolah dengan diantar oleh Oom-ku, tanpa sengaja kulihat kau berjalan di depanku, melewati halam samping sekolah, menuju kelas. Aku hanya bisa menatap punggungmu dengan sedih. Hmm, mau bagaimana lagi? Pernah suatu ketika kau yang berjalan dibelakangku. Aku menyadarinya, tapi aku tak berani menoleh padamu. Hanya lewat jendela kaca yang ada disampingkulah aku berani melihatmu—yang ternyata juga sedang mengawasiku. Aku langsung menunduk, dan mempercepat langkahku menuju kelas. Yah, aku memang menyedihkan, aku tahu. Sampai sekarang pun, kita tak pernah saling menyapa lagi. Kalaupun hanya bisa menjadi teman, aku sudah cukup senang. Aku sangat merindukan saat-saat kita mengobrol, tertawa bersama. Sekarang, aku hanya bisa melihatmu dari jauh. Apakah kau juga sepeti itu? Kuharap begitu.
Mimpiku tadi sore membuatku teringat lagi padamu. Padahal, aku sudah mulai bisa melupakan harapan-harapanku padamu. Jadi, tolonglah. Jangan mengusik pikiranku lagi. Aku sudah cukup tenang sekarang. Aku hanya merasa perlu menuliskan semua yang kuketahui tentangmu dan tentang perasaanku padamu setelah sekali lagi kau berhasil mengaduk-aduk rasa di hatiku lewat mimpi. Selamat tinggal, pelangi cinta kedua-ku.



Regards,

=R=

2 comments:

  1. @Salsabila : Okay sist, tp nggak sekarang ya. Lagi sibuk banget nih. Udah mulai ujian praktek. Tapi nanti pasti aku follow back kok. :)

    ReplyDelete

Ungkapkan pikiranmu... :)
*Don't Forget to Leave Your Comment, Please!*

Cara Mengembalikan Akun BBM yang Dibajak atau Dihack (Terkena Hack)

Beberapa hari yang lalu saya mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Akun BBM saya dibajak :( Pertama kali tahu dari teman saya yang ...