Saturday, May 12, 2012

Novel Bayangan di Cermin (Mirror Image) by Sandra Brown

Ketika kau terjebak dalam kehidupan wanita lain...

Sampul Depan


Nah, kalo dibentangkan gitu lumayan keren ya, cover-nya.
Agak misterius gimanaaa gettuu. :p


Hmm, udah lama nggak baca novel yang ada unsur pembunuhan dan detektifnya. Seneng banget rasanya waktu dapet novel ini dari Papa. :D Dulu, novel yang sering kubaca adalah novel seri detektif karya S. Mara G.D. Seru banget tuh. Aku suka baca sambil menebak-nebak siapa penjahat sebenarnya. Dan sampai detik ini, tebakanku hampir tidak pernah meleset. :D
Untuk detail buku (ISBN, ukuran, tebal, harga buku, dan lain-lain) silakan klik di sini.
Ini dia review-nya, enjoy ya! :)


Plot
Alur yang digunakan adalah alur maju.


Point of View
Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu.


Tokoh dan Penokohan
Avery Daniels
Wanita ini bekerja sebagai reporter TV, namun belakangan ia dipecat karena melakukan sebuah kesalahan yang fatal saat sedang melaporkan sebuah berita. Karier yang sudah dibangunnya dengan susah payah hancur begitu saja, dan ia kehilangan citra baiknya sebagai seorang reporter. Avery bernasib malang karena berada pada sebuah pesawat yang meledak sesaat setelah mengudara. Parahnya, karena suatu hal, ia diidentifikasi sebagai Carole Rutledge.

Tate Rutledge
Pria tampan, pintar, kaya, dan berkharisma ini adalah calon senator Amerika Serikat sekaligus suami dari Carole Rutledge. Begitu mendengar kabar bahwa pesawat yang ditumpangi istri dan anaknya mengalami kecelakaan, ia langsung panik dan bergegas menuju rumah sakit. Tate lega setelah mengetahui bahwa ‘istri’ dan anaknya selamat dari kecelakaan tragis itu. Meskipun Tate sangat membenci Carole karena pria itu tahu bahwa istrinya selingkuh, Tate tetap bertanggung jawab dan merawat 'Carole'.

Carole Rutledge
Wanita cantik ini adalah istri dari Tate Rutledge. Carole adalah sosok wanita yang egois, tidak pernah memperhatikan keluarganya, dan suka berselingkuh dengan banyak pria. Parahnya, Carole memang sengaja memperlihatkan perselingkuhan itu kepada Tate. Ia juga tidak pernah memperhatikan anaknya. Dia hanya suka pergi ke salon, berbelanja, dan berselingkuh. Carole tewas dalam kecelakaan itu. Namun, mayatnya yang sudah hangus terbakar diidentifikasi sebagai Avery Daniels.

Mandy Rutledge
Anak yang berusia tiga tahun ini adalah putri Tate dan Carole. Gadis kecil ini ikut bersama ibunya dalam pesawat yang mengalami kecelakaan itu, tapi akhirnya Mandy berhasil diselamatkan Avery. Setelah luka-luka fisiknya sembuh, diketahui Mandy mengalami trauma berat akibat peristiwa itu.

Nelson dan Zee Rutledge
Nelson adalah ayah dari Jack dan Tate. Ia adalah sosok yang disiplin dan tegas. Setelah pensiun sebagai penerbang, Nelson membuka sebuah peternakan. Sedangkan Zee adalah ibu dari Tate dan Jack. Ia seorang wanita yang lembut dan penyabar.

Jack Rutledge dan Dorothy Rae
Keduanya adalah sepasang suami istri. Sayang, kehidupan perkawinan mereka sama sekali tidak bahagia. Jack adalah kakak Tate sekaligus anggota dari tim kampanye Tate. Sedangkan Dorothy adalah sosok wanita yang memiliki ketergantungan terhadap alkohol. Yups, setiap hari dia suka minum-minum sampai mabuk. Dorothy selalu menuduh Carole sebagai penyebab rusaknya pernikahannya dengan Jack. Ia menuduh Jack berselingkuh dengan Carole. Tapi Jack selalu membantahnya, dan pertengkaran pun tak terhindarkan.

Francine Rutledge (Fancy)
Remaja cantik ini adalah putri dari Jack dan Dorothy. Fancy tumbuh menjadi gadis yang suka membangkang dan bertingkah seenaknya sendiri. Ia suka kebut-kebutan, mabuk, mengisap ganja, dan tidur dengan pria manapun yang ia sukai. Bahkan kedua orangtuanya sudah menyerah untuk mengendalikannya. Fancy bersikap seperti itu untuk menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya. Ia merasa tidak ada orang yang menyayanginya.

Eddy Paschal
Pria tampan dan berkharisma ini adalah sahabat baik Tate sejak kuliah sekaligus manajer kampanye Tate. Eddy sudah dianggap menjadi bagian dari keluarga Rutledge. Ia menjadi salah satu pria ‘incaran’ Fancy, meskipun Eddy lebih pantas menjadi seorang ayah baginya daripada menjadi seorang kekasih. Penolakan Eddy terhadap Fancy secara terus menerus membuat gadis itu geram. Fancy kemudian menuduh Eddy ada main dengan Carole, yang tentu saja selalu dibantah Eddy.

Irish McCabe
Lelaki yang menginjak usia senja ini sudah dianggap Avery sebagai ayahnya sendiri. Kepada Irish lah Avery mengungkapkan permasalahan yang sedang ia hadapi dan meminta bantuannya. Awalnya Irish menolak membantu dan berkeras agar Avery mengakui jati dirinya pada semua orang. Namun setelah dibujuk Avery, akhirnya pria itu bersedia membantu, meskipun dengan sedikit enggan. Walau pun selama ini Irish menyembunyikan fakta bahwa ia mencintai ibu Avery yang sudah lama meninggal—Rosemary Daniels—tapi akhirnya Avery mengetahuinya juga. Avery sama sekali tidak keberatan.

Van Lovejoy
Pria bertubuh kurus ini adalah kamerawan sekaligus sahabat karib Avery. Ia sama terpukulnya dengan Irish sewaktu menerima kabar bahwa Avery sudah tewas dalam kecelakaan itu. Namun saat ia mendapat tugas untuk meliput di kediaman keluarga Rutledge, ia sudah mulai curiga pada Carole. Dan instingnya memang tepat, Carole yang sekarang adalah Avery. Van sangat membantu Avery, dengan kecerdikannya dan koleksi video yang dimilikinya. Kuberi sedikit bocoran ya, Van akhirnya meninggal… Huhuhuhuhu…. T.T Aku sampe nangis parah banget di bagian Van meninggal. Kenapa aku bisa nangis parah gitu? Karena aku menyukai tokoh Van. Sangat amat nge-fans berat sekali *hiperbola*. Well, sudah lama aku tidak menemukan karakter tokoh seperti Van dalam novel-novel yang belakangan kubaca. Dia misterius dan cool. Dia cuek, tapi sangat penyayang dan peduli terhadap orang yang dianggapnya berarti. Dia suka minum, tapi sangat cerdik dan penalarannya sangat bagus. Dia tukang molor, tapi bisa terjaga semalam suntuk demi mencari petunjuk yang berguna bagi Avery. Dia perokok berat, namun memiliki insting yang sangat tajam. Intinya, dia selalu punya sisi positif dibalik sisi negatif dalam dirinya. Dan hanya orang-orang tertentu yang beruntung yang bisa melihat sisi baik seorang Van. :’)


Jalan cerita
Semua bermula dari kecelakaan sebuah pesawat yang meledak sesaat setelah lepas landas. Tate Rutledge yang mendengar berita bahwa pesawat yang ditumpangi istri dan anaknya meledak, menjadi panik dan bergegas menuju rumah sakit. Di sana ia mendapati ‘istrinya’ mengalami luka bakar yang cukup parah sehingga seluruh tubuhnya diperban. Hanya salah satu matanya yang tidak dibalut perban. Tulangnya juga patah di beberapa bagian. Dokter bilang wajah istrinya rusak parah dan harus menjalani operasi plastik segera setelah keadaannya membaik dan siap untuk menjalani pembedahan. Tanpa pikir panjang, Tate setuju dan beberapa hari kemudian menyerahkan foto Carole Rutledge untuk menunjukkan wajah istrinya itu kepada dokter bedah. Sedangkan putrinya—Mandy—tidak mengalami luka fisik yang parah.

Di sisi lain, Avery sangat ketakutan. Ia merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya, juga bingung. Semua orang selalu menyebutnya Carole, atau Mrs. Rutledge. Padahal ia bukan Carole, ia adalah Avery. Avery ingin berteriak memberitahu kesalahan identifikasi itu, tapi tidak bisa. Pita suaranya terganggu, tubuhnya juga tidak bisa digerakkan sama sekali. Akhirnya, setelah beberapa hari, Avery mengingat kronologi saat ia keluar dari pesawat yang sudah terbakar itu.

Ketika pesawat sudah penuh dengan asap, ia berhasil membuka sabuk pengamannya. Ia melihat seorang anak kecil yang duduk di samping kanannya, yang sedang panik dan ketakutan, berteriak-teriak memanggil ibunya. Ibunya—Carole—duduk di sebelah kanan anak itu, dekat jendela. Sebenarnya itu adalah tempat duduk Avery, tapi mereka bertukar tempat duduk. Dengan dibantu Carole, Avery berhasil melepaskan sabuk pengaman Mandy dan membawa anak itu keluar dari pesawat. Setelah itu Avery tidak mengingat apa pun lagi. Kini ia sadar, mungkin karena itulah dia dikira Carole, dan karena mereka juga bertukar kursi. Ia bertekad memberi tahu Tate secepat mungkin, tapi ia sadar ia tidak akan bisa tepat waktu. Operasi itu akan segera dimulai, dan saat keluar dari ruang bedah, wajahnya akan berubah menjadi wajah Carole.

Selama Avery menjalani perawatan, Tate selalu menjenguknya secara berkala. Menyemangatinnya, memberitahu ‘istrinya’ bahwa ia tak perlu khawatir karena wajahnya akan kembali seperti semula, bahkan menjadi lebih cantik dan tampak lebih muda (Tate tidak tahu kalau orang yang dianggapnya sebagai istrinya adalah Avery). Meskipun begitu, Avery tetap bisa merasakan bahwa Tate sebenarnya sangat membenci Carole. Tate bersikap baik dan sopan pada Avery. Tapi Tate juga bersikap ketus dan menjaga jarak. Avery belum tahu mengapa Tate bersikap seperti itu pada ‘istrinya’ sendiri.

Suatu malam, seseorang mendatangi ruang ICU Avery dan membisikkan sesuatu padanya. Orang itu mengira Avery adalah Carole. Seseorang itu berkata bahwa rencana mereka untuk membunuh Tate akan tetap berjalan. Tate akan mati sebelum sempat menjalankan tugasnya sebagai senator. Avery sangat terkejut. Ia tidak bisa melihat wajah orang itu karena seluruh tubuhnya diperban, termasuk salah satu matanya. Sedangkan orang itu berdiri dibelakang bahunya. Avery sadar, bahwa nyawa Tate dan nyawanya sendiri terancam bahaya. Kalau sampai orang itu tahu bahwa ia bukan Carole, sudah pasti orang itu akan membunuh Avery. Maka, dengan terpaksa ia membiarkan kesalahan identifikasi itu. Avery memutuskan bahwa untuk sementara ia harus menjadi Carole, demi melindungi Tate dan nyawanya sendiri.

Dan dimulai lah kehidupan Avery sebagai istri dari calon senator Amerika Serikat. Sebagai seorang ibu dengan anak yang mengalami trauma berat. Sebagai istri yang dibenci Tate. Sebagai Carole Rutledge. Avery berusaha menyesuaikan diri dengan anggota keluarga Rutledge yang lain. Dokter sudah memberi tahu mungkin ada sedikit masalah ingatan yang akan menganggu. Avery justru senang, karena hal itu dapat digunakan sebagai alasan kalau ia melakukan kesalahan saat berperan sebagai Carole.

Avery tinggal bersama keluarga besar Rutledge di sebuah rumah peternakan yang besar dan megah. Di sana ia mengenal beberapa anggota keluarga lainnya. Ada Nelson—ayah Tate, Zee—ibu Tate, Jack—kakak Tate, Dorothy—istri Jack, Fancy—putri Jack dan Dorothy, serta Eddy—sahabat Tate yang sudah dianggap menjadi bagian dari keluarga Rutledge yang juga tinggal di rumah itu. Avery terus berusaha memerankan sosok Carole sebaik mungkin seraya mencari petunjuk dan menebak-nebak siapa dari anggota keluarga Rutledge yang bersekongkol dengan Carole untuk membunuh Tate dan mendatanginya di ruang ICU malam itu. Ia yakin bahwa orang itu adalah salah satu keluarga Tate, karena memang hanya pihak keluarga yang diperbolehkan masuk ruang ICU.

Saat ia merasa tidak kuat untuk menanggung semuanya sendiri, ia mendatangi Irish—sabahat kedua orangtuanya yang sudah meninggal—dan menjelaskan tentang semuanya. Awalnya Irish tidak percaya, tapi akhirnya ia luluh juga. Irish mengaku mengenali Avery dari matanya. Awalnya Irish menyarankan Avery untuk membuka jati dirinya pada keluarga Rutledge dan melapor pada polisi. Namun Avery menolak dengan tegas. Akhirnya, setelah dibujuk Avery, Irish mau juga membantunya. Tak lama, Van juga telah mengetahui jati diri Avery yang menyamar sebagai Carole. Ia sudah mencurigainya saat ia diberi tugas untuk meliput aktivitas keluarga Rutledge. Dan ternyata kecurigaannya benar. Akhirnya, setelah diberi penjelasan oleh Avery dan Irish, Van mengerti dan bersedia membantu. Jadi, mereka bertiga (sebagai detektif amatiran, hahaha :D)—Avery, Irish, dan Van—berusaha mencari petunjuk untuk mengetahui siapa penjahat itu.

Avery menyadari, ditengah-tengah peran yang sedang dimainkannya, ia jatuh cinta pada Tate. Juga kepada Mandy, putri Tate dan Carole. Namun Avery tahu, Tate sangat membencinya karena Tate mengira ia adalah Carole. Tate menganggap Avery wanita murahan dan tukang selingkuh. Tapi ada lagi satu hal yang membuat Tate sangat membenci Carole. Tate bersumpah tidak akan pernah memaafkan Carole untuk yang satu itu. Avery sangat tersiksa. Ia terjebak sebagai Carole yang sangat dibenci Tate dan jatuh cinta pada pria itu. Avery berusaha keras untuk meyakinkan Tate bahwa ia bukan wanita yang dulu lagi, ia sudah berubah. Namun tetap saja Tate tidak akan mudah mempercayainya. Sedangkan waktu yang dimiliki Avery terus menipis, karena tanpa disadarinya, si penjahat yang telah bersekongkol dengan Carole itu mulai mengetahui jati diri Avery….

Berhasilkah Avery meyakinkan Tate bahwa ia benar-benar mencintainya?
Bagaimana reaksi Tate saat mengetahu jati diri Avery?
Dapatkah Avery menemukan penjahat itu dan menggagalkan rencananya?
Yuk mari, dibaca novelnya. ^.^


Penilaian
Wow! Adalah satu kata yang kuucapkan setelah selesai membaca novel ini. Benar-benar seperti yang kuharapkan. Sudah lama aku tidak membaca novel yang mendebarkan seperti ini. Dari halaman pertama pun aku sudah dibuat merinding. Bagian klimaksnya TOP BGT buatku. Twist-nya berasa banget. Apalagi bagian-bagian akhir, saat pelakunya mulai terungkap. Jantung berdebar-debar, tangan-kaki dingin keringetan, guling kuremas, gelisah, dan akhirnya memekik kecil (gila aja kalo teriak, malem2, bo!) seraya menutup mulut dengan sebelah tangan saat pelakunya benar-benar terungkap.

And, d*mn!! Tebakanku meleset!!! Sh*t!!! Aku benar-benar tertipu. Telak abis. Penipuan karakter yang dibangun Sandra Brown sukses berat. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala tak percaya dibuatnya. Baru aku sadar, aku sangat merindukan sensasi membaca novel-novel seri detektif seperti ini (meskipun detektifnya si Avery dkk yang amatiran, haha :D). Uhh, Papa… thank you so much for gave me this novel. I like it very much… much… much… Hahaha. Sepertinya credit card-nya Papa tidak tergesek dengan percuma, hehehe :p.

Menurutku novel ini karya terbaiknya Sandra Brown yang pernah kubaca, jika kubandingkan dengan dua judul lainnya yang juga pernah kubaca, yaitu Long Time Coming (Kasih Setinggi Bintang), dan Two Alone (Biarkan Aku Mencintaimu). Dua novel itu hasil minjem dari perpus umum, hehehe (waktu itu masih nggak modal :p). Keduanya cukup oke, tapi Bayangan di Cermin bisa unggul karena sensasi mendebarkan saat menebak pelakunya, yang tidak kudapatkan dari dua novel tadi. Salut juga buat penerjemahnya. Bahasanya enak dibaca dan nggak kaku-kaku amat seperti novel terjemahan kebanyakan. Percakapannya mengalir lancar. Good, job!!! :)

Nggak ragu lagi deh. Lima bintang full buat novel ini!!! :)

Jadi pengin beli novelnya Sandra Brown yang lain, nih. Penasaran berat!! Yah, tapi harus nabung dulu kali ya. Secara, harga novelnya Sandra lumayan menguras dompet :p. Mungkin ada yang mau minjemin? Hahaha… *nggak mau ngeluarin duit* :D


My Favorite Quote
Nggak banyak sih quote yang bisa kudapat dari novel ini. Mungkin karena Mirror Image bukan jenis novel yang terpaku pada cerita cinta aja kali ya. :p

“… Biasanya bila seseorang nyaris tewas, dia mengalami masa dimana dia menginginkan hal yang baik-baik… Dalam waktu sesaat itu, mereka membayangkan apa yang mungkin hilang dari tangan mereka, mereka merasa bersalah karena tidak menghargai orang-orang yang mereka cintai, dan berjanji akan memperbaiki diri, menjadi manusia yang lebih baik.”—Nelson, hal. 144

“… Waktu dan kesabaran merupakan cara yang paling baik.”—Nelson, hal. 144

Rasa takut harus diakui, sebelum dapat ditangani dan dihilangkan. Hal. 272

“Ketulusan pribadimu tidak akan membiarkan dirimu menyalahgunakan siapa pun juga, Tate. Cita-cita yang kaukemukakan bukanlah sekadar kata-kata kosong dalam kampanye. Kau meyakininya.”—Avery, hal. 485

“Kalau begitu seharusnya kau tahu betapa pentingnya bagiku untuk menjadi diriku sendiri.”—Tate, hal 501

“Aku takut, Tate.”
“Takut bahwa aku akan kalah sebelum hari ini berakhir?”
“Tidak. Takut kau mati.”—Avery, hal 620 (Owww, so sweet ^.^ )





Regards,


=R=

Sunday, May 6, 2012

(Film) Malaikat Tanpa Sayap: Hidup nggak pernah mudah...

Saat kau harus memilih untuk pergi, atau ditinggal pergi...





Jenis Film : Drama
Produser : CHAND PARWEZ SERVIA
Produksi : PT. KHARISMA STARVISION PLUS
Sutradara : Rako Prijanto

Cast Pemain
Adipati Dolken - Vino
Maudy Ayunda - Mura
Surya Saputra - Amir (Ayah Vino)
Agus Kuncoro - Calo
Ikang Fawzi - Ayah Mura
Kinaryosih - Mirna (Ibu Vino)
Geccha Qheagaveta - Wina

Jalan Cerita
Vino (Adipati Dolken) tidak terlalu dekat dengan keluarga apalagi setelah papanya, Amir (Surya Saputra) bangkrut akibat ditipu rekan bisnisnya hingga mereka pindah dari perumahan elite ke rumah kontrakan di gang. Mamanya, Mirna (Kinaryosih) justru kabur dari rumah untuk berhubungan dengan pria lain, bahkan tega meninggalkan, Wina (Geccha Qheagaveta), putrinya yang masih kecil.

Suatu ketika Wina terjatuh di kamar mandi dan dari hasil rontgen Wina diharuskan menjalani operasi, kalau tidak kakinya infeksi dan harus diamputasi. Wina membutuhkan transfusi darah karena pendarahan, sementara golongan darah Wina cukup langka; A rhesus negatif. Vino yang mempunyai golongan darah yang sama, mengajukan diri. Saat itulah, Calo (Agus Kuncoro) yang sedang mencari pendonor jantung mendengar hal itu, kemudian menawari Vino untuk menjadi pendonor jantung karena ada resipien (calon penerima jantung) yang golongan darahnya sama dengan Vino.

Di rumah sakit itu pula Vino berkenalan dengan Mura (Maudy Ayunda). Sejak saat itu Vino merasa hidupnya berwarna. Vino yang awalnya sempat putus asa hingga bertransaksi dengan Calo, mulai goyah. Ia tidak mau mendonorkan jantungnya meskipun telah menerima sejumlah uang muka dari Calo. Hal itu membuat Calo marah besar. Terlebih Vino juga sudah menggunakan sebagian uang itu untuk membiayai operasi adiknya dan menebus rumah mereka yang telah disita pihak bank.

Vino sangat terkejut dan tidak percaya saat Calo memberitahu bahwa resipien jantung itu adalah Mura. Nah, keputusan apa yang akan diambil Vino? Nyawa siapa yang akan dipilihnya?

Penilaian
Film drama yang bagus dan nggak menye-menye. Penuh dengan pesan moral yang baik dalam menjalani hidup, dan semangat pantang menyerah. Buat yang mengira film ini sad ending, kalian salah besar. Ternyata kisah ini happy ending loh. Gimana bisa? Tonton aja filmnya :p. Dari awal aku udah nebak siapa yang bakal berkorban buat Mura, dan ternyata dugaanku tidak meleset, hahahaha.. :D Nice movie. :)

Salah satu adegan favoritku adalah saat Vino mengajak Mura ke sebuah pertunjukan seni lukis. Si pelukis itu menggunakan pasir yang dilukis di atas kaca. Ia melukis seraya bercerita. Berikut kutuliskan kisahnya, bagus loh. ^.^

Ada laki-laki bernama Amarah. Hidupnya penuh dengan kemarahan, seperti namanya. Hingga ia bertemu perempuan bernama Bening. Perempuan itu sebening embun, hingga Amarah dapat berkaca pada wajah Bening, sehingga amarahnya padam menjadi abu. Abu menempel pada daun, berharap dapat larut, menyatu dengan embun.

Tapi, alam tidak berpihak padanya. Bening mendadak sakit. Andai Bening tahu, Amarah ingin setengah sakit Bening diberikan kepadanya. Amarah mencegahnya, tapi Dewa Maut bersikeras. Bahkan Amarah menawarkan nyawanya. Ia bersedia menggantikan nyawa Bening. Cinta bukan masalah memiliki. Cinta adalah berani untuk pergi, atau ditinggal pergi.
(Yups, Amarah adalah Vino, sedangkan Bening adalah Mura.)

My Favorite Quote
Berikut kutuliskan juga beberapa quote favoritku, cekidot. :p

Dalam Hidup nggak ada jaminan buat terus bahagia. Nggak ada kepastian buat apa pun. Setiap orang bisa terlempar keluar dari kotak rasa nyamannya, secara tiba-tiba. –Vino.

Kita memang hidup dalam sekat-sekat, pengotakan, pelabelan. Dan saat label kita dicabut, kita bukan siapa-siapa lagi.—Vino

(Mura) “Aku nggak pernah ngerasa nggak punya temen. Kadang temen di dunia maya itu lebih real dari yang nyata.”
(Vino) “Berarti kamu eksis di dunia maya dong. Aku nggak yakin orang bisa punya temen beneran dari situ. Di dunia maya, kamu ngebiarin semua orang tahu tentang diri kamu, lewat status kamu. Tapi di dunia nyata, cuma sahabat kamu doang yang tahu kamu gimana.”
(Mura) “Rasanya nggak perlu jadi sahabat kamu buat bisa baca kamu….”

Persetan dengan pengkotak-kotakan. Sekat-sekat yang berdiri tegak diantara manusia. Toh hidup ini dunia nyamannya orang dewasa. Kita pura-pura tua untuk ngelewatinnya. Atau pura-pura jadi anak-anak buat ngehindarinnya.—Vino

“Dia tu kayak gini, Ra. Kamu tau sosoknya ada. Tapi ternyata nggak ada. Nggak ada gunanya sebagai orangtua.” (Vino saat menceritakan tentang ayahnya)
(Mura) “Ya mungkin seharusnya kamu yang coba membuatnya jadi lebih real.”
(Vino) “Loh, kenapa musti aku yang usaha? Kenapa nggak dia aja? Dan kenapa musti aku yang ngertiin dia?”
(Mura) “Kenapa juga harus dia yang ngertiin kamu?”

(Vino) “Ceritanya panjang. Yang jelas, hidup aku nggak semudah hidup kamu.”
(Mura) “Nggak ada hidup yang mudah.”
(Vino) “Sorry, Ra. Akhir-akhir ini aku suka pesimis, kalo ngomongin sekolah, hidup, sama masa depan.”
(Mura) “Baru akhir-akhir ini, kan? Nggak dari kecil kamu tahu kamu nggak bakalan punya masa depan.”

Terkadang untuk menjauhi temen yang kita sayang, kita justru bikin dia marah dan sakit hati. Agar saat kita pergi, kita nggak merasa terlalu kehilangan.—Vino

Kayak kematian, ya? Nggak punya jam, tapi tahu kapan harus dateng. Mungkin itu kenapa kematian itu bagian dari takdir. Dan waktunya udah ada. Kalo buat aku sih, kematian itu kayak ada di tikungan jalan, nggak pernah tahu apa yang ada dibalik tikungan itu. Dan mungkin, itulah saat kita mati.—Mura

Kadang kematian bisa jadi pilihan, Ra. Pada satu titik, pilihan terakhir bisa jadi kematian.—Vino

Yang paling sakit bagi seorang ayah, harus melihat anaknya lahir, tumbuh, terus harus melihat anaknya pergi duluan.—Ayah Mura

Kamu tahu, apa alasan aku bisa jatuh cinta sama kamu? Embun nggak perlu warna biar bisa bikin daun jatuh cinta, Ra. Sama Kayak aku, aku nggak punya alasan nggak jatuh cinta sama kamu.—Vino

Tapi buat aku dan Mura, waktu pernah mematahkan sayap-sayap kami. Dan waktu pula lah yang menyembuhkan, dan mengajari kami untuk tidak menyerah.—Vino


Gambar Cuplikan Adegan
(Hasil searching sama Om Gugel :p)























Regards,


=R=

Wednesday, May 2, 2012

Berbincang Bersama Pagi


Seseorang menepuk-nepuk dahiku perlahan. Aku mengerang dan membuka mata dengan sedikit kesal. Huft, terputuslah mimpi indahku itu. Aku bermimpi menjadi tokoh utama wanita dari novel yang kubaca semalam. Hahaha.. mungkin karena aku terlalu menghayatinya. :p

“Ayo bangun! Katanya mau nganter? Udah jam empat nih.”

Itu suara Mama. Yeah, bagaimana mungkin aku bisa lupa? Mama dan rekan-rekan sekantornya akan piknik ke Jogja hari ini, dan aku bertugas mengantar Mama ke kantornya (yang jaraknya sekitar 20 km dari rumah) untuk berkumpul. Sebenarnya aku juga ditawarin ikut, tapi ternyata organisasi karang tarunaku juga akan mengadakan piknik, dan saat rapat aku terpilih menjadi panitia (padahal waktu dateng rapat aku udah milih tempat duduk di pojokan agak belakang, dan nunduk-nunduk terus selama rapat. Tapi emang dasar nasib lagi apes atau karena Kak Andi—Ketua karang taruna—memang sangat jeli melihat kehadiranku, akhirnya namaku tercantum juga di daftar ‘keramat’ itu) akhirnya aku ikut piknik yang diadakan karang tarunaku pada awal bulan Juli nanti. Entah kenapa, pemikiranku memang selalu klop dengan Kak Andi, aku juga nyaman ngobrol sama dia, meskipun dia termasuk anggota senior. :)

Anyway, back to the story.

“Ayo bangun, nanti telat.” Suara Mama lagi tuh.

Aku hanya menarik selimut sampai hampir menutupi kepalaku, memejamkan mata lagi, dan bergumam pelan, “Lima belas menit lagi.” Nyatanya, tak sampai lima belas menit aku sudah menendang selimut dan gulingku, merangkak keluar tempat tidur, berjalan ke kamar mandi, lalu bergegas cuci muka, gosok gigi, dan berwudhu. Aku sadar kalau sampai Mama ketinggalan bus, dia pasti akan marah sekali. Kalau dia marah, dijamin aku nggak bakalan dikasih uang jajan. Kalau aku nggak dikasih uang jajan, wah celaka dua puluh!!!! Bukan, bukan karena aku nggak bisa jajan di kantin atau nggak bisa beli pulsa, atau nggak bisa beli bensin. Tapi karena aku nggak bakal bisa nabung buat… BELI NOVEL!!! *gubrakk* :D

Maka, dengan kesadaran penuh, aku bergegas menunaikan sholat subuh yang hanya dua rekaat (syukurlah, coba kalo dua puluh rekaat? Pingsan dong gue!! Hehehe,) kemudian ganti baju, menyesap teh hangat yang sudah dibuatkan nenekku, dan segera mengeluarkan motor untuk dipanaskan. Tak berapa lama, kami sudah ada di jalan. Mama yang memegang kendali motor. Sedangkan aku? Aku hanya membonceng di belakangnya dengan mata yang mulai mengantuk lagi karena angin subuh yang tanpa permisi membelai wajahku. Hmm, ternyata udara subuh sangat menyegarkan. Dingin, sejuk dan menenangkan. Tapi tetep bikin ngantuk sih. Hehehe.

“Nih, kalo mau sarapan. Ada donat.” Dengan tangan kiri, perlahan Mama mengangsurkan tas yang berisi bekal makanannya. Aku menerima tas itu, dan kutengok apa saja yang ada di dalamnya. Memang ada donat, tapi toping-nya abon. Yuks, aku nggak suka. Lalu ada roti kering, beberapa jenis keripik, sebotol air mineral, dan dua kaleng minuman bersoda. Hmm, melihat semua makanan itu justru membuat perutku terasa mual. Akhirnya kuangsurkan kembali tas itu kepada Mama.
“Nggak mau, donatnya rasa abon. Nggak doyan.”
“Kan ada yang cokelat.”
“Nggak ada kok.”
“Ada. Di bagian paling bawah.”
“Nggak, ah. Nggak enak makan subuh-subuh gini.”
“Ya udah,”

Beberapa saat kemudian kami melewati pasar. Wow, ternyata sudah sangat ramai. Suasananya menyenangkan. Melihat para pedagang dan pembeli saling tawar menawar harga, dengan diterangi lampu bercahaya orange yang menyela terang. Apik sekali. Sekitar dua puluh menit kemudian, kami melewati area persawahan dan perbukitan. Jalan mulai berkelok-kelok dan naik turun. Matahari sudah mulai menyembul nampaknya, dan langit sudah berubah warnanya, dari hitam legam menjadi biru tua. Terlihat kabut tipis menyelimuti jalanan yang masih terbilang sepi. Terlihat olehku beberapa orang yang berjalan dengan santai di pinggiran. Ada segerombolan ibu-ibu yang sedang bercengkrama heboh sambil menenteng tas belanjaan, ada seorang nenek yang berjalan perlahan, dan ada seorang kakek yang berjalan seraya memikul kayu bakar. Aku sadar, betapa banyak keindahan yang bisa kita lihat di waktu subuh, jika kita mau bangun lebih pagi (alih-alih tidur lagi setelah beribadah, wkwkwkwk.. siapa tuh? Hahaha..). Dan semua keindahan itu akan hilang jika sang surya sudah terlihat bertengger tinggi di langit. Dengan panas yang menyengat dan asap-asap kendaraan yang melintas (terutama asap bus-bus yang berwarna hitam pekat itu *hoek*).

Akhirnya, kami sampai di kantor Mama. Saat aku turun dari boncengan, kulihat Mama melambaikan tangan pada salah seorang rekan kerjanya yang juga baru sampai. Mama turun, dan menyerahkan kendali motor padaku. Aku sama sekali tak menangis, mungkin karena aku sudah terbiasa ditinggal kedua orangtuaku bekerja ke luar kota atau bahkan ke luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama. Kalau cuma ditinggal piknik sehari aja sih, no problem buatku. :p
Mama tersenyum padaku, kurasakan kedua mata teduhnya juga ikut terseyum.

“Hati-hati pulangnya. Jangan ngebut-ngebut. Udah nggak bingung lagi kan, jalannya?”

Aku mengangguk, sebagai jawaban atas perintahnya ‘hati hati dan jangan ngebut’ kemudian menggeleng untuk mengisyaratkan aku tidak bingung dengan jalan pulang yang harus kutempuh sendiri. Olala, sungguh terlalu kalo aku masih bingung juga. Tadi sebelum berangkat, Mama dengan senang hati sudah menggambarkan denah rute pulang ke rumah, kemudian
menjelaskannya berulang kali padaku dan menjejalkan denah itu ke kantong jaketku . Mungkin dia khawatir, karena aku belum pernah pergi sendiri sejauh itu. Paling pol cuma ke Solo Grand Mall, Gramedia, atau Togamas, hahaha. :D *nasib* ini dia denah yang digambar Mama…


Maaf ya, udah lecek tuh. Maklum, habis dilipat-lipat
dan dimasukkan ke kantong jaket. :p

Akhirnya, setelah bersalaman dan mencium tangan Mama, aku mulai melajukan motorku. Ke mana lagi? Tentu saja pulang, karena perutku sudah keroncongan dari tadi, minta diisi, kelaparan setengah mati. :p




Regards,

=R=

Cara Mengembalikan Akun BBM yang Dibajak atau Dihack (Terkena Hack)

Beberapa hari yang lalu saya mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Akun BBM saya dibajak :( Pertama kali tahu dari teman saya yang ...