Thursday, February 23, 2012

Malaikat Mungil tak Bersayap



Malam ini, ba’da maghrib aku berangkat les ke rumah guruku. Rasa frustasi mungkin sudah menghiasi wajahku, bukan karena memikirkan rumus-rumus fisika yang akan kupelajari. Ini tentang masalah yang baru-baru ini muncul dalam hidupku. Masalah yang kemungkinan besar tidak akan dialami oleh teman-teman sebayaku, sehingga mereka tidak dapat merasakan apa yang kurasakan. Hanya tentang itu. Sewaktu kecil, aku menganggap hal itu tidak begitu penting. Maklum, aku belum bisa memahami semuanya waktu itu. Kupikir, ke depannya juga tidak akan apa-apa. Toh, sampai sekarang pun aku masih baik-baik saja. Hingga hari itu tiba. Duniaku serta merta berubah. Sepertinya semua orang mengira bahwa aku baik-baik saja. Aku senang dengan hal itu. Aku memang sengaja menyembunyikannya, belum siap untuk berbagi dengan siapa pun.

Aku mengeluarkan motor kesayanganku, lalu tancap gas ke tempat les. Kuakui, aku sedikit ngebut. Aku menengadah, memandang langit yang gelap dan suram. Mendung bertengger dengan santainya di sana. Menutupi sang bulan dan para bintang yang ingin menunjukkan kemilaunya di bumi. Cahaya kilat sesekali nampak mendampingi sang mega mendung. Sampai di perempatan lampu merah, kuhembuskan napas dengan kesal setelah melihat timer lampu merah itu. Masih lebih dari satu menit lagi sampai lampu hijau kembali menyala. Aku mengetuk-ngetukkan kakiku pada aspal jalan, menunggu dengan tidak sabar. Dari sudut mataku, kulihat sesosok tubuh menghampiriku dari sisi kanan. Saat aku menoleh, ternyata hanya seorang anak laki-laki. Mungkin berusia sekitar enam atau tujuh tahun. Tubuhnya kecil mungil, berbalut kaus bermotif garis-garis putih abu-abu, celana lusuh selutut, dan sepasang kaki yang telanjang, tanpa memakai sandal. Aku terenyuh ketika melihat bocah kecil itu menengadahkan tangan kanannya padaku dengan kedua matanya yang bening, dan pupil mata yang berukuran sedikit lebih besar daripada pupil mata orang dewasa.


Aku langsung tersadar. Betapa egoisnya aku ini. Andaikan aku mau sedikit saja berpikir dan merenungkan kehidupan yang kumiliki. Aku masih memiliki orangtua kandung yang lengkap. Ada mama. Ada papa. Hidupku berkecukupan, dengan fasilitas yang lumayan lengkap. Aku punya rumah untuk tempat berteduh dari panas ataupun hujan. Aku bisa bersekolah setinggi yang aku mau. Aku memiliki teman-teman dan sahabat-sahabat yang baik. Wajahku cukup lumayan, walaupun nggak secantik Christine Stewart. Otakku juga cukup lumayan, meskipun tidak secemerlang Albert Einstein. Aku jauuuhhhhh lebih beruntung dari anak itu. Aku mulai berpikir,

Apakah anak itu masih punya orangtua?
Ayah? Atau Ibu?
Atau justru mereka yang memaksanya berbuat seperti itu?
Apakah dia bersekolah?
Apakah dia sudah makan hari ini?
Atau ia harus menahan lapar sampai ada seseorang yang berbaik hati, dan mau memberinya uang recehan?

Ya, malaikat mungil itu telah menyadarkanku, bahwa aku melupakan sesuatu yang sangat penting dalam hidup ini. Aku lupa untuk bersyukur, atas apa yang telah diberikanNya padaku selama ini. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung merogoh saku jaket, berharap menemukan sedikit rupiah. Ternyata nihil. Kualihkan kedua tanganku, lalu merogoh saku celana jeans kesayanganku. Ternyata nihil juga. Aku teringat bahwa aku memasukkan dompetku ke dalam tas ransel yang sedang nangkring di punggungku. Saat aku hendak mengambil dompet, lampu kuning mulai menyala, menandakan lampu hijau akan menyusul. Aku langsung menggelengkan kepalaku ke arah anak lelaki itu dengan wajah sedih, kemudian mulai menjalankan motorku kembali, jika tidak ingin dicaci maki oleh para pengendara lainnya yang ada dibelakangku. Aku melaju dengan perasaan tak keruan. Niat hati ingin memberikan sedikit yang kupunya pada bocah kecil yang telah menyadarkanku itu. Mungkin sedikit rupiah itu tidak begitu berarti bagiku. Paling hanya buat bayar parkir atau beli permen. Tapi, untuk anak itu mungkin akan sangat berbeda keadaanya. Aku menyesal, dan berdoa dalam hati, semoga bocah itu masih di sana saat aku pulang les nanti.

Aku sampai di rumah sahabatku yang satu les denganku. Sebelum aku turun dari motor, ia sudah keluar dengan memakai kaus putih, celana selutut, dan handuk yang membungkus rambutnya. Sepertinya habis keramas.
“Hehehe, sori ya, kita nggak jadi les. Mbaknya lagi sakit. Aku udah sms kok, belom kamu baca, ya?” katanya. Aku langsung mengeluarkan hp-ku dan mengeceknya. Yups, memang ada pesan di sana. Aku langsung nyengir, “Oh, aku emang nggak ngecek hp dari tadi. Ya udah, aku cabut aja. Bye.” ucapku seraya memutar motor.
“Oke, bye. Hati-hati.” sahutnya pelan.
Sepulang dari sana, sebenernya aku ingin langsung menuju perempatan lampu merah itu lagi. Tapi aku mampir sebentar ke warnet, mau nge-print tugas bahasa inggris, naskah salinan buat ujian praktek besok. Soalnya, printer di rumah lagi ngadat. Sampai di sana, mas-mas yang jaga malah berceloteh ria dan agak sok akrab.
“Ini juga harus dihapalin? Terus disuruh maju gitu?” celotehnya sambil cengengesan.
“Iya.” kujawab singkat.
“Susah nggak ngapalinnya?”
“Nggak.”
“Kalo susah, anggep aja teksnya itu jalan pulang ke rumah. Pasti hapal tuh. Tenang aja. Tinggal bayangin, pasti teksnya langsung muncul di kepala.” Ehh ni orang. Udah dibilangin juga kalo aku nggak kesulitan ngapalin teksnya, masih aja komentar. Kalau cuma bahasa Inggris, masih bisa kuatasi, asal jangan bahasa Jepang. Ampun deh.
“Iya, makasih.” balasku singkat. Si mas masih cengengesan.

Selesai nge-print aku langsung tancap gas ke perempatan itu lagi, sudah menyiapkan sedikit rupiah di saku jaket untuk anak itu. Sampai di sana, lampu merah sedang menyala. Aku celingukan kanan-kiri-depan-belakang nyari tuh bocah. Hatiku langsung mencelos saat menyadari bahwa ia sudah pergi. Sungguh, aku sangat menyesal. Tau gitu mending nge-printnya belakangan aja tadi. Sampai lampu hijau kembali menyala pun, aku masih belum bisa menemukan anak itu lagi. Sepertinya ia sudah pergi. Hmmff, rasa sesal yang dalam menyelimuti hatiku. Aku ingin sekali berbagi padanya. Kepada anak itu, yang telah menyadarkanku. Aku hanya bisa pasrah dan melajukan motorku kembali pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, kedua mataku merebak, terasa perih. Wajah anak itu terus terbayang-bayang dalam ingatanku. Aku hanya bisa berdoa dalam hati.

Ya Allah, lindungilah anak itu. Apakah ia malaikat utusanMu untuk menyadarkanku? Apa pun tujuanMu, aku berterima kasih, karena Engkau telah mempertemukanku dengan dia. Semoga ia tidak kedinginan atau kelaparan. Dimana pun anak itu berada, aku berdoa agar dia selalu dalam lindunganMu.

Ya Allah, maafkan aku yang lupa bersyukur.
Maafkan aku yang lupa untuk bersedekah.
Maafkan aku yang lupa dengan arti berbagi.
Maafkan aku yang selalu mengeluh dengan hidupku.
Maafkan aku yang selalu tidak puas dengan apa yang telah Engkau berikan.
Maafkan aku yang terkadang lupa mengingatMu dikala senang.
Maafkan aku.
Maafkan aku.
Sungguh, maafkan aku.
I’m begging You, please, forgive me, Ya Allah.

Ya Allah, dampingilah aku selalu. Jangan tinggalkan aku. Tuntunlah aku menuju jalanMu. Berikanlah kekuatan padaku untuk menghadapi semua ini. Kuatkanlah aku, ya Allah. Apapun takdir yang telah Engkau gariskan untukku, aku akan menerimanya dengan ikhlas. Engkau pun tahu, kebahagiaan kedua orangtuaku, khususnya Mama, adalah kebahagiaanku juga. Aku senang, jika mereka senang. Lindungilah mereka selalu. Apa pun yang bisa membuat kedua orangtuaku bahagia, aku akan melakukannya. Aku akan belajar untuk sabar, tegar, dan ikhlas. Amin.



Regards,
=R=

Tuesday, February 21, 2012

Cerpen : Asa dalam Diam


Hujan yang tadinya hanya turun rintik-rintik itu kini menjadi lebat, disertai dengan angin yang cukup kencang. Kevin yang sedang memboncengkan Cecil segera mempercepat laju motornya seraya mencari tempat berteduh. Penglihatannya tertuju pada sebuah rumah makan yang ukurannya tidak terlalu besar. Kevin menghentikan motornya tepat di depan rumah makan itu. Cecil segera turun dari boncengan dengan wajah cemberut. Mereka berjalan cepat memasuki rumah makan sederhana itu. Seragam putih abu-abu mereka terlihat agak basah.
“Yaelah, jangan cemberut gitu kenapa sih? Ntar cantiknya hilang lho. Hujannya lebat banget gini, mendingan kita neduh dulu aja.” ucap Kevin santai seraya merapikan rambutnya yang agak berantakan.
“Yah, tau gini mendingan gue di sekolah aja tadi, nungguin Elsa selesai rapat OSIS, terus nebeng dia deh. Pasti nggak bakal kehujanan begini. Huh, kenapa juga nyokap harus ada meeting dadakan sih??!! Dia kan jadi nggak bisa jemput gue, mana nggak bawa dompet lagi, jadi nggak bisa naik taksi. Terpaksa nebeng elo, kirain bakal cepet sampe, nggak tahunya malah kehujanan gini.” omel Cecil sambil menggosok-gosok kedua lengannya yang memeluk tubuh, berusaha menghalau dingin yang menyergap.
“Mana gue tahu bakalan hujan? Tadi kan terang-terang aja tuh langit. Lo kira gue turunan cenayang, bisa tahu masa depan? Udah syukur lo gue anterin pulang. Kalo lo diapa-apain sama preman usil di depan sekolah gimana coba? Lo kan tahu di sekolah tadi udah sepi. Pak satpam lagi cuti nungguin istrinya yang habis ngelahirin baby.” balas Kevin, kemudian ia melepaskan jaket tebalnya, dan menyelubungkan jaket itu pada tubuh Cecil. “Nih, pake aja. Bibir lo sampe biru gitu. Gue mau ganti baju. Kebetulan gue bawa kaos ganti buat latihan basket nanti.”
“Yah Kevin, jaketnya kan udah basah? Percuma doonnkk. Lo gimana sihhhh???!!!” balas Cecil kelewat histeris.
“Eh… iya, ya. Hehehe, sori. Oh, gue bawa kaus ganti dua kok. Yang satu buat Erwin, biasalah, dia selalu lupa bawa kaus ganti. Lo mau pake?”
“Kebesaran donk? Gue kan kecil imut gini. Badan lo aja udah kayak gajah gitu.”
“Dasar lo, udah ditawarin juga! Malah ngeledek gue, gue kan nggak gendut! Ya udah kalo nggak mau. Gue mau ke toilet dulu, ganti baju. “ Kevin berkata dengan santai, lalu bergegas menghampiri salah seorang pelayan di rumah makan itu, bertanya letak toilet. Dia agak ngambek sama Cecil yang meledeknya barusan. Masa gue dibilang gajah? Gue keren banget gini, banyak cewek yang ngantri jadi pacar gue! Protesnya dalam hati. Sebenarnya, Kevin memang tidak segemuk itu. Cecil saja yang terlalu berlebihan. Kevin mempunyai tubuh yang tinggi tegap, badan berisi dan berotot. Tidak gemuk, tidak juga kurus, cukup proporsional dengan kulit sedikit kecokelatan, wajah superganteng, rambut hitam legam, dan bola mata yang berwarna cokelat.
“Keviinnn!!! Tungguin gue!! Iya, gue ngaku salah. Gue kan cuma bercanda tadi. Sensi amat sih lo? Lagi dapet ya? Hahahaha….” Cecil yang telah berhasil menyusul Kevin langsung tertawa lepas. Ia memang suka sekali menggoda temannya yang satu ini. Kevin hanya bisa melotot ke arah Cecil, ingin marah, tapi tidak bisa. Amarahnya langsung teredam oleh wajah cantik Cecil yang semakin mempesona jika sedang tertawa, seperti saat ini.
“ Nih, pake aja. Nanti kalo udah, gue tunggu di meja pojok itu ya? Yang deket jendela.” perintah Kevin sambil menunjuk ke meja yang dimaksud setelah menyerahkan sebuah kaus pada Cecil.
“Siap laksanakan, Komandan!” balas Cecil dengan memberi hormat.
“Hahaha, bisa aja lo. Ya udah, gue duluan ke toilet cowok. Jangan lama-lama, ya.” ucap Kevin ringan, lalu memegang puncak kepala Cecil dengan sayang dan melenggang pergi.

Tak lama, Cecil keluar dari toilet wanita, sudah mengenakan kaus yang tentu saja kebesaran, tapi setidaknya kering dan nyaman dipakai. Ia melepas kucir rambutnya, membiarkan rambut lurus basahnya yang telah disisir rapi tergerai, dan langsung menuju ke meja yang tadi ditunjuk Kevin. Kevin sudah menunggunya di sana, sedang melamun melihat ke luar jendela, tatapannya memang tertuju pada jalanan di depan, namun pikirannya entah sedang terbang kemana.
“Woii!!! Ngelamun aja lo. Mikirin cewek ya? Bingung mau pilih yang mana, saking banyaknya cewek-cewek yang bertebaran di sekeliling lo?” ucap Cecil seraya menarik sebuah kursi di hadapan Kevin, lalu duduk di atasnya. Kevin telah memesankan segelas teh manis hangat untuknya, sedangkan Kevin sendiri memesan segelas kopi. Cecil menyesap teh manis hangatnya pelan-pelan.
“Enak aja lo bilang begitu. Eh, lo mau makan? Biar gue pesenin. Kalo gue sih udah kenyang, tadi habis makan sama anak-anak di kantin.”
“Nggak ah. Gue juga masih kenyang, tadi dibawain bekal sama Mama.”
“Oh, oke. Eh, tapi, ngomong-ngomong soal cewek, gue emang lagi bingung nih. Menurut lo gue mesti pilih yang mana?”
“Ya terserah elo, yang ngejalanin kan lo sendiri. Masa nanya ke gue sih? Apa pun pilihan lo, gue dukung kok, asal cewek baik-baik, jangan kayak mantan lo yang matre akut itu.”
“Ehmm, kalo gue maunya… elo… gimana?” Kevin berkata serius dan menatap langsung kedua bola mata Cecil yang juga berwarna cokelat.
“Hahaha, gue? Sama elo? Tunggu sampe dunia kiamat!!! Vin, gue itu udah tau baik buruknya elo, dan lo pasti juga begitu kan, ke gue?”
“Iya sih, tapi dengan begitu kita kan bisa saling melengkapi.” balas Kevin tak mau kalah.
“Buset, puitis amat lo? Tadi belajar ngegombal dari siapa? Gue tuh tau, biar tampang lo ganteng banget gini, tapi lo tuh nggak pernah bisa ngerayu cewek, apalagi ngegombalin mereka. Yang ada juga para cewek kecentilan itu yang ngerayu elo. Hahaha….” lagi-lagi Cecil menertawakan Kevin.
“Jadi… menurut lo, gue ganteng? Kalo menurut gue, lo itu cantik. Cantik banget.” ucap Kevin serius seraya menatap Cecil dalam. Akibatnya, Cecil langsung berhenti tertawa dan merasa jengah dengan tatapan Kevin. Ia memandang ke luar jendela, memandangi jalanan kota Jakarta yang cukup padat, dan hujan masih turun rintik-rintik. Cecil tidak berani membalas tatapan mata yang baginya selalu terasa teduh dan menenangkan itu.
“Hmmm, hujannya kok nggak reda-reda sih? Gue benci hujan. Gue lebih suka kepanasan daripada kehujanan. Setiap gue kehujanan, besoknya pasti langsung sakit.” Cecil berkata, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kalo gue sih justru suka banget sama hujan. Apalagi kalo hujan rintik-rintik gini, suasananya jadi romantis.” balas Kevin yang kemudian mengalihkan tatapannya ke luar jendela.
Cecil hanya bisa tersenyum geli bercampur heran. Nggak biasanya Kevin seperti ini. Baginya, Kevin adalah teman atau bahkan sahabat yang menyenangkan jika diajak ngobrol ataupun curhat. Tapi, hari ini ia merasa Kevin sangat berbeda. Sebenarnya, akhir-akhir ini Cecil mulai menyadari bahwa rasa sayangnya pada Kevin mungkin lebih dari sekedar sahabat. Saat mengetahui Kevin hanya dimanfaatkan oleh mantan pacarnya yang matre itu, ia turut sakit hati. Ia sampai menyalahkan dirinya sendiri, mengapa ia tidak menyadari perilaku cewek itu sejak awal. Namun, saat ia sadar bahwa ia telah jatuh hati pada Kevin yang baik, penyabar, humoris, pengertian, care, dan ganteng ini, Cecil memilih untuk menyembunyikan perasaannya. Keadaan yang memaksanya untuk berbuat seperti ini.
Tak lama, pembicaraan diantara Cecil dan Kevin kembali berjalan lancar, normal, seperti biasanya. Gelak tawa mereka yang terkadang terlewat keras membuat beberapa pengunjung lain merasa penasaran dan menoleh ke arah dua sejoli yang terlihat seperti sepasang kekasih itu. Beberapa saat kemudian, hujan sudah reda, dan Kevin langsung mengantar Cecil pulang ke rumahnya.
Thanks ya, Vin, atas tumpangannya. Sering-sering aja deh, hehehe. Hati-hati ya, jangan ngebut. Habis ini langsung latihan basket?” ucap Cecil di depan pagar rumahnya, setelah mengembalikan helm milik Kevin.
“Yeah, It’s a pleasure. Oke, gue nggak bakalan kebut-kebutan kok hari ini, tenang aja. Jalanan kan licin, habis hujan gini. Iya nih, langsung balik lagi ke sekolah. Ya udah, cepet masuk gih, terus mandi pake air anget, dan langsung tidur. Jangan nulis yang aneh-aneh dulu. Lo harus istirahat, oke? Gue duluan ya. See you tomorrow at school.” Kevin tahu betul kebiasaan Cecil yang hobi sekali menulis. Dari puisi, sampai cerpen. Jika sudah ada di depan laptop kesayangannya, ia tidak akan beranjak sampai ia selesai menuangkan ide-idenya.
Yes, Sir. See you too.” Cecil masih berdiri di depan pagar, memandangi kepergian cowok yang dicintainya, sampai sosok itu menghilang di tikungan. Ia mengembuskan napas berat, membuka pagar, lalu masuk ke dalam rumah. Badannya terasa pegal dan lemas. Menyembunyikan perasaan ternyata sangat sulit, juga melelahkan.
***
Pagi hari di SMA Tunas Bangsa. Kevin memasuki ruang kelasnya, XII IPA 2, sambil bersiul-siul riang. Setelah meletakkan tas, ia menengok kiri-kanan, mencari gadis yang dikasihinya. Terkadang Kevin merasa sedikit menyesal, karena ia baru bisa memahami perasaannya pada Cecil akhir-akhir ini.
“Doi belom dateng, man. Tungguin aja bentar lagi.” cetus Erwin, sahabat sekaligus teman semeja Kevin.
“Hmm, nggak biasanya Cecil belom dateng. Lima menit lagi udah masuk nih. Masa sih dia telat? Cecil itu cewek paling rajin dan disiplin yang pernah gue kenal. Biasanya pagi-pagi udah ngendon di kelas.” balas Kevin heran. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Saat Kevin menoleh, ia melihat Elsa, teman semeja Cecil.
“Udah, nggak usah ditungguin, Cecil nggak masuk hari ini. Dia sakit. Tadi pagi, nyokapnya ke rumah gue, nitip surat izin.” jelas Elsa.
“Oh, gitu. Lo tahu dia sakit apa? Parah nggak?” tanya Kevin merasa khawatir.
“Gue nggak begitu ngerti sih. Paling demam. Lo kan tahu, Cecil itu gampang banget sakit. Kehujanan dikit, langsung teler dia. Mungkin kemarin dia habis kehujanan lagi. Ya udah, gue balik ke meja gue dulu. Gue cuma mau lapor sama lo. Kalo nggak dikasih tau, lo pasti udah kayak cacing kepanasan sepanjang pelajaran nanti, nungguin Cecil yang nggak dateng-dateng. Yuk, ah.” Elsa melenggang pergi.
Selepas kepergian Elsa, Kevin langsung merasa bersalah. Kemungkinan besar Cecil jatuh sakit karena ia mengantar Cecil pulang kemarin sambil hujan-hujanan. Mereka memang sempat berteduh, tapi ia sudah tahu bahwa daya tahan tubuh Cecil itu sangat lemah. Sepanjang pelajaran, Kevin tidak bisa berkonsentrasi. Ingin rasanya ia memutar jarum jam, agar bel pulang lekas berbunyi, jadi ia bisa menjenguk Cecil, dengan membawakan sepotong cokelat kesukaannya sebagai tanda pemohonan maaf.
Saat bel pulang sekolah telah berbunyi, Kevin langsung berdiri, kemudian langsung memasukkan saja semua buku-bukunya tanpa ia tata rapi seperti biasanya. Ia ingin segera melihat Cecil.
“Mau kemana lo? Buru-buru amat. Lo lupa ya, hari ini kita ada janji latihan sama Pak Baskoro, turnamen basket kan sebentar lagi. Lo bisa aja dikeluarin dari team kalo sampe berani nggak hadir.” Erwin memperingatkan. Kevin langsung tersadar, lalu terduduk kembali dengan pasrah. Mungkin ia bisa menjenguk Cecil besok, jika gadis itu belum juga masuk sekolah.
Hari berikutnya, sepulang sekolah Kevin langsung tancap gas menuju rumah Cecil. Sampai di sana, yang berhasil ia temui hanya Bi Minah, pembantu di rumah Cecil.
“Maaf Den, Non Cecil belum bisa dijenguk. Nyonya pesen, Non harus banyak tidur, biar cepet sembuh.”
“Ya udah kalo begitu Bi. Tolong sampikan ke Cecil ya, kalo saya datang, dan ini tolong dikasihkan ke dia. Terima kasih Bi, saya permisi.” ucap Kevin seraya menyodorkan sebuah bingkisan berisi cokelat dan buah-buahan.
Kevin berjalan menuju motornya yang terparkir di halaman. Ia sedikit heran, biasanya Cecil selalu bisa dijenguk. Baru dua hari Kevin tidak melihat Cecil, tapi ia sudah merasa kangen luar biasa. Ingin sekali ia mendobrak pintu rumah Cecil dan menerobos masuk. Namun akal sehatnya masih bisa menahan kehendak hatinya itu.
Sampai beberapa minggu, Cecil tidak kunjung masuk sekolah. Kevin yang mulanya merasa sangat khawatir, kini tak lagi sempat memikirkan Cecil. Pikiran dan tenaganya ia curahkan untuk persiapan turnamen basket dan olimpiade fisika minggu depan. Kala malam menyapa, saat Kevin berusaha melepas lelah di tempat tidurnya, pikirannya langsung tertuju pada Cecil. Gadis cantik dengan kulit putih bersih, badan tidak begitu tinggi dan agak kurus, rambut lurus sebahu berwarna hitam legam, dan kedua bola mata yang berwarna cokelat, persis seperti miliknya. Wajah Cecil telah berhasil mengusik pikiran Kevin, bahkan terbawa hingga ke alam bawah sadar. Kevin menikmatinya, sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Jika tidak bisa melihat Cecil di alam nyata, lewat mimpi pun tak apa. Setidaknya, ia bisa melihat wajah gadis yang sangat dicintainya.
Turnamen basket dan olimpiade fisika telah dijalani Kevin dengan sukses. Ia berhasil menyabet juara satu untuk keduanya. Pagi ini, ia berangkat ke sekolah dengan cukup riang, walaupun benaknya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Cecil. Kevin sudah beberapa kali datang ke rumah Cecil, namun yang ia temui selalu Bi Minah, dengan jawaban yang tetap sama, bahwa Cecil tidak bisa diganggu dan perlu istirahat. Sampai di kelas, ia melenggang ke tempat duduknya, seperti biasa. Ia memandang Erwin dan teman-teman sekelas lainya, yang sedang menatapnya dengan sorot mata aneh.
“ Ada apa sih, Win? Kok semuanya pada ngeliatin gue kayak gitu?” tanyanya heran.
“Ehmm, gini Vin, Eh, elo tenang dulu ya, nggak usah pake emosi. Elo harus tenang, sabar.” Erwin justru berbelit-belit.
“Ahh, udah cepetan bilang ke gue ada apa.” balas Kevin tak sabar.
“Ehmm, itu.. si Cecil. Dia ternyata sakit parah, udah lama. Sekarang dia ada di rumah sakit Harapan Bunda. Gue juga baru tahu dari guru-guru tadi. Mereka berencana menjenguk Cecil pulang sekolah nanti.” Erwin menjelaskan pelan-pelan. Benak Kevin mendadak kosong. Tanpa pikir panjang, ia langsung meraih tasnya seraya berkata, “Tolong bilangin ke guru kalo gue izin hari ini. Bilang aja gue sakit. Kalo ketahuan bohong, nanti gue yang tanggung resikonya. Tolongin gue ya Win, thanks bro. Gue cabut.” pinta Kevin. Erwin hanya mengangguk, ia mengerti gejolak batin yang dialami Kevin.
Kevin melajukan motornya secepat mungkin, bahkan beberapa kali melanggar lampu merah. Sampai di rumah sakit, ia langsung bertanya nomor kamar Cecil pada resepsionis.
“Ruang melati nomor 333, Mas. Naik lift ke lantai tiga, lurus sedikit, lalu belok kanan.”
“Terima kasih.” Kevin bergegas menuju ruangan yang dimaksud. Ia menenangkan hatinya sejenak di depan pintu. Setelah agak tenang, ia berusaha memasang sebuah senyuman, lalu mengetuk pelan pintu kamar itu, dan masuk ke dalam secara perlahan. Tatapannya tertuju ke arah Cecil yang terlihat pucat, dan semakin kurus. Di samping pembaringannya ada mama Cecil yang sedang mengusap kedua matanya yang basah, seperti habis menangis.
“Pagi, tante. Gimana keadaan Cecil?” tanya Kevin pelan.
“Seperti yang kamu lihat, Vin. Tante tinggal sebentar ya, mau ketemu dokter. Tante titip Cecil sebentar ya.” pinta mama Cecil sambil berdiri.
“Ya, tante.” sahut Kevin.
“Hai. Udah baikan? Kenapa lo nggak bilang sama gue kalo selama ini lo dirawat di rumah sakit? Gue khawatir banget sama lo.” ucap Kevin pelan sambil duduk di kursi di samping tempat tidur Cecil.
“Hai juga. Udah mendingan, tapi kayaknya akan semakin memburuk. Gue nggak bilang karena gue nggak mau ngerepotin lo dan temen-temen.” jawab Cecil lirih.
“Lo jangan ngomong begitu. Lo harus optimis. Lo pasti bisa sembuh. Gue nggak pernah ngerasa direpotin sama lo.” balas Kevin.
“Kevin, gue mau jujur sama lo. Sebenarnya, selama ini gue sakit. Lo tahu kan kalo kondisi tubuh gue ini lemah banget. Ini karena dari bayi, gue cuma punya satu ginjal. Dari kecil, gue selalu bergantung sama obat-obatan. Kata Mama, dokter pernah bilang kalo gue mungkin hanya bisa bertahan selama beberapa tahun aja. Tapi, Mama nggak pernah menyerah dan tetap merawat gue. Bisa hidup sampai sekarang, sudah merupakan suatu mukjizat buat gue. Apalagi, karena… gue bisa… ketemu sama… elo.” Cecil berkata dengan terengah-engah.
“Ssstt, udah. Lo jangan banyak ngomong dulu. Gue juga bersyukur bisa ketemu sama lo.” balas Kevin seraya mengusap pipi Cecil yang cekung dengan lembut. Tak lama, mama Cecil telah kembali ke kamar.
“Mama, Cecil sayaaanngg banget sama Mama. Mama harus tegar, jangan nangis lama-lama buat Cecil. Suatu saat, Mama… harus… bahagia. Jan… ji?” pinta Cecil.
“Iya sayang, Mama janji.” Mama Cecil sudah mulai menangis lagi, seraya menggenggam tangan anaknya.
“Kevin, lo juga. Jangan tangisin gue lama-lama ya. Gue punya sesuatu… buat… lo. Dibaca ya? Jan… ji?”pinta Cecil dengan suara yang semakin lemah.
“Iya, gue janji.” balas Kevin. Ia mulai mendapat firasat buruk. Ia merasa bahwa ia harus mengungkapkan perasaannya pada Cecil sekarang juga.
“Cecil, sebenernya, aku… udah lama sayang sama kamu. Bukan hanya sebagai sahabat, tapi rasa sayang cowok ke seorang cewek. Aku… cinta sama kamu.” Kevin berkata seraya menatap Cecil dalam.
“Aku tahu Vin. Aku… juga sayang sama kamu. Rasa sayang cewek ke seorang cowok. Aku… juga cinta sama kamu. Tapi, sekarang… aku… harus pergi. Relain aku… Vin.” pinta Cecil terbata-bata.
“Kamu jangan ngomong begitu! Kamu harus sembuh!!! Aku mau kamu dalam hidupku. Please Cil, bertahanlah. Aku janji bakal selalu jagain kamu. Aku janji!” balas Kevin mulai histeris.
Cecil hanya tersenyum dan memandang Kevin dalam, lalu menoleh ke arah ibunya.
“Mama, maafin Cecil, kalo selama ini… Cecil udah ngerepotin Mama… atau bikin salah… sama Mama. Cecil… sayang… Mama.” ucapnya lirih. Mamanya hanya bisa mengangguk pelan dan berkata, “Mama juga sayang Cecil. Cecil anak baik, Mama nggak pernah merasa direpotin.”
“Kevin, I… love… you. Sampai… bertemu… lagi.”Cecil terlihat menahan sakit, kemudian kedua matanya terpejam untuk selama-lamanya. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum.
“Cecillll!!!!” teriak mamanya, lalu menekan tombol darurat untuk memanggil dokter. Dokter kemudian datang, mengecek keadaan Cecil dan berkata bahwa Cecil sudah pergi.
“Cecil… I love you too. Selamat jalan, dan sampai jumpa lagi.” ucap Kevin lirih, seraya mengelus kepala Cecil pelan. Air mata bergulir perlahan dari kedua sudut matanya, dan jatuh menetes ke pipi Cecil. Sekali lagi, Kevin telah kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
***
Sore itu, cuaca sangat cerah dan angin bertiup sepoi-sepoi. Banyak orang yang mengantar jenazah Cecil, menuju tempat peristirahatannya yang abadi. Di pemakaman itulah, Kevin melepas kepergian gadis yang sangat dicintainya. Terdapat juga beberapa teman sekolah, guru-guru, dan kerabat lainnya. Mereka semua berpakaian serba hitam. Tak lama, sedikit-demi sedikit dari para pelayat itu meninggalkan makam Cecil. Akhirnya, hanya tertinggal Kevin dan mama Cecil di sana.
Kevin berjongkok, memegang batu nisan Cecil dan mengelusnya pelan. Sesekali air mata masih menetes dari kedua sudut matanya. Ia membaca tulisan yang tertera di sana. Cecilina Pratama Wijaya. Lahir 11-11-1994. Wafat 09-12-2011. Mama Cecil berjongkok, menyejajarkan dirinya dengan Kevin, lalu meyodorkan sebuah kertas kepada Kevin.
“Cecil nitipin ini ke tante. Katanya harus diberikan ke kamu.” ucap Mama Cecil pelan.
Kevin mengusap kedua matanya, dan meraih kertas itu. Ia membukanya dan langsung membaca pesan terakhir dari Cecil.

Dear Kevin, buka e-mail kamu. Ada sedikit coretan dariku untukmu.
With love, Cecil.

Dahi Kevin berkerut heran membacanya. Saking sibuknya Kevin berpikir, ia sampai tidak menyadari kehadiran seseorang yang telah ikut berjongkok disampingnya. Saat ia menoleh memandang sosok itu, jantungnya serasa akan melompat keluar. Gadis itu Cecil, memakai pakaian serba hitam. Merasa dipandangi oleh Kevin, gadis itu menoleh singkat, mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu menaburkan bunga ke atas makam. Kevin terlihat masih shock. Ia berpikir dalam hati, kenapa Cecil masih di sini? Apa dia roh? Tapi di bisa menyentuh keranjang bunga itu. Gadis itu menoleh lagi, kali ini menatap mama Cecil, lalu berkata, “Maaf Ma, aku telat.” ucap gadis itu santai, dan mama Cecil hanya mengangguk pelan. Tinggallah Kevin masih yang masih terbengong-bengong sendirian. Jantungnya berdebar keras, kedua telapak tangannya terasa dingin. Ia masih lekat memandang wajah itu. KENAPA CECIL BISA ADA DUA??!!! Pikir Kevin dalam hati.


To be continued....



Regards,

=R=

Sunday, February 12, 2012

Novel Metropop : I Hate Rich Men by Virginia Novita



Duh, lagi pengen bahas novel lagi nih. Sasaranku kali ini adalah novel ber-genre metropop berjudul I Hate Rich Men karya Virginia Novita. Dari judulnya aja udah bisa ketebak garis besar ceritanya, kan? Tapi tenang aja, jalan ceritanya nggak monoton atau ngebosenin kok. Novel ber-cover eye catching ini mengisahkan perjalanan hidup seorang wanita yang sangat amat tidak menyukai orang kaya, khususnya pria kaya karena peristiwa yang ia alami di masa lalu. Oh iya, aku sempat terkecoh dengan cuplikan cerita di cover belakangnya : “Adik Anda merebut tunangan saya,”
Ternyata eh ternyata, Nino itu bukan adik Miranda, tapi sebenernya dia itu…. (Hehehe, sabar ya). Untuk cuplikan cerita dan detail buku (ISBN, tebal buku, panjang+lebar buku, harga, dll) bisa kamu lihat di sini. Ini dia resensinya… (enjoy ya! ^^)



Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu.


Alur (Plot)
Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju.


Tokoh dan Penokohan
Miranda
Wanita cantik berjiwa muda dengan usia tiga puluh lima tahun ini sangat membenci pria kaya dan takut pada binatang. Meskipun usianya sudah menginjak kepala tiga, Miranda masih menyukai cerita-cerita dongeng seperti Sleeping Beauty dan berharap suatu hari nanti akan ada seorang Pangeran tampan yang hadir dalam hidupnya, seperti sang Pangeran yang menyelamatkan sang Putri tidur. Anehnya, Miranda juga lebih senang memakai daster bergambar Sleeping Beauty dan cartoon Disney lainnya jika sedang berada di rumah, meskipun ia sudah termasuk ‘ibu-ibu’. Ia cukup sukses sebagai pemilik dua restoran Spicy Indo dengan para wanita muda yang sedang hamil sebagai karyawannya. Wajahnya yang awet muda dan selera fashion-nya yang up to date, membuatnya terlihat seperti gadis remaja. Tidak ada yang menyangka bahwa ia sudah memiliki seorang anak (diluar nikah) yang telah berusia tujuh belas tahun. Percakapan Miranda dengan anaknya memang menggunakan sapaan ‘gue-elo’ sehingga membuat teman-teman anaknya mengira bahwa Miranda itu kakaknya. Tapi sebenarnya ia tidak bermaksud menyembunyikan fakta itu. Kedua orangtua Miranda sudah meninggal akibat kecelakaan saat anaknya berusia sekitar lima tahun.

Adrian Aditomo
Pria kaya berusia tiga puluh tujuh tahun ini memiliki wajah yang sangat tampan, badan tinggi atletis, dan berkharisma kuat (khas tokoh cowok di novel metropop =,=”). Ibunya orang Amerika dan ayahnya orang Jawa. Ia menjadi CEO Aditomo Group (perusahaan yang mencakup pada banyak bidang : telekomunikasi, perhotelan, pengolahan minyak, pertanian, perkebunan, properti, dll) setelah ayahnya meninggal. So, bisa dibayangkan doonnkk seberapa tajir cowok ganteng ini :) ia bahkan mempunyai pesawat pribadi. Sayangnya, Adrian termasuk dalam kategori pria yang dibenci Miranda karena kekayaan, sikap angkuh dan egoisnya. Padahal, itu hanya luarnya saja. Dibalik sikap angkuhnya, sebenarnya Adrian ini berhati lembut dan sangat penyayang.

Sebastian Nino
Cowok keren yang sangaattt pintar ini berusia tujuh belas tahun. Yups, Nino ini adalah anaknya Miranda. Ia sangat bangga dengan bundanya yang cantik jelita, sabar, dan tegar. Nino sudah diberitahu Miranda tentang semua kisahnya di masa lalu. Namun, sampai sekarang Nino belum pernah bertemu dengan ayahnya. Nino tumbuh sebagai anak yang manis, penurut, dan sangat pintar. Ia mendapat beasiswa penuh selama enam tahun (SMP-SMA) di St. Trinity School, salah satu sekolah swasta terbaik dan termahal di Indonesia dengan taraf Internasional. Selama di sekolah itu, Nino selalu menjadi juara umum, enam tahun berturut-turut.

Jessica
Gadis manis yang sebaya dan satu sekolah dengan Nino ini adalah anak wali Adrian. Jess sudah menganggap Adrian seperti ayahnya sendiri. Orangtuanya meninggal lima tahun lalu dalam sebuah kecelakaan pesawat. Orangtua Jess adalah sahabat baik Adrian, dan dalam surat wasiatnya, mereka menitipkan Jess dan seluruh kekayaan dan perusahaan keluarga itu kepada Adrian untuk di kelola dan diserahkan pada Jess saat ia dewasa nanti. Namun sayangnya, Jess sama sekali tidak menyukai dunia bisnis. Ia lebih menyukai dunia seni khususnya melukis. Hal inilah yang sempat membuat Adrian kewalahan, sebab jika Jess menjadi pelukis, siapa yang akan mengurus perusahaan yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya nanti?

Sari, Carla, Ria, dan Devi
Keempatnya adalah sahabat Miranda yang juga karyawan di restoran milik Miranda. Keempat wanita muda itu sedang hamil, diluar nikah. Nasib yang mempertemukan mereka dengan Miranda yang kemudian memberikan pekerjaan di restoran miliknya. Tak lama, mereka sudah menjadi sahabat karib Miranda.

Tommy
Cowok yang cukup keren nan tajir ini adalah sahabat Nino di sekolah. Tommy ini sangat tergila-gila pada Miranda yang dikiranya kakak Nino. Lucunya, Miranda sering menanggapinya dengan candaan sekilas, yang dianggap serius oleh Tommy. Dan, menginjak akhir cerita, Tommy langsung pingsan ketika ia mendengar Nino memanggil Miranda dengan sebutan ‘Bunda’. :D


Jalan Cerita
Kisah dimulai dengan perkumpulan lima wanita (Miranda, Sari, Carla, Ria, dan Devi) di rumah kontrakan Sari untuk merayakan tujuh bulan kandungan Carla. Mereka begadang sambil nonton film bersama. Dan, coba tebak apa film yang mereka bahas? Twilight!!! Wuih, aku langsung cengar-cengir tuh. Film ini dipilih Carla karena ia memang menyukai film vampir dan terutama tokoh cowoknya, Edward Cullen (sama kayak aku donk!! Haha :D )

Pagi harinya, Miranda terbangun di kamarnya dengan mata yang terasa berat karena masih mengantuk. Kemudian ia ingat bahwa ia harus mengambil rapor Nino hari itu. Saat ia menengok jam, tentu saja ia sudah terlambat. Sesampainya di sekolah, ia bertemu Nino yang sudah cemberut menunggunya, lalu menyapa Tommy—sahabat anaknya—dan bergegas menuju kelas Nino untuk mengambil rapor Nino yang tentu saja nilainya selalu bagus. Miranda sangat bangga pada Nino karena Nino memang tidak pernah mengecewakannya. Kemudian Miranda diberitahu oleh Wali Kelas Nino bahwa Nino mengajukan beasiswa ke Amerika dan kemungkinan besar akan diterima. Miranda sangat senang, tapi juga merasa sedih di saat yang bersamaan karena jika Nino diterima, berarti ia harus rela berpisah dengan anaknya selama beberapa tahun.

Setelah penerimaan rapor, ada acara perpisahan wali murid. Dan di sanalah Miranda bertemu dengan Adrian untuk yang pertama kalinya. Dan seperti yang sudah kutebak, pertemuan ini sangat kacau, tetapi membekas di hati masing-masing. Tanpa sengaja, Miranda tertidur di bahu Adrian saat mendengarkan kata sambutan dari Kepala Sekolah. Saat sesi makan-makan, niatnya Miranda hendak minta maaf pada Adrian, tapi ia justru menjatuhkan piring yang dipegangnya (yang tentu saja berisi banyak makanan) lalu piring itu terlempar dan mengenai kemeja Adrian. Jadilah pertemuan singkat itu ditutup dengan rasa kesal dari pihak Adrian.

Tiba di rumah, terjadi perdebatan sengit antara Adrian dan Jess (anak wali Adrian). Jess ingin berkuliah di bidang seni, sedangkan Adrian menghendaki ia mengambil jurusan bisnis agar bisa menangani perusahaan yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya. Kemudian Jess berkata bahwa saat ia sudah memiliki hak atas uangnya nanti, ia bisa bersekolah dengan uangnya sendiri. Adrian mulai merasa curiga karena selama ini Jess tidak pernah menyinggung tentang uangnya. Adrian berpikir mungkin Jess telah dipengaruhi oleh seorang laki-laki yang hanya berniat memanfaatkan harta Jess.

Tanpa sepengetahuan Jess, Adrian menyewa seorang detektif untuk menyelidiki teman pria yang dekat dengan Jess. Dan saat laporannya muncul, biodata Nino sebagai pacar Jess lah yang diterima Adrian, lengkap dengan biodata Miranda yang dikira kakaknya. Maka, ia mulai menyusun sebuah rencana yang tidak diperhitungkannya dengan matang. Adrian berniat menculik Miranda dan mengaku sebagai tunangan Jess demi memisahkan Jess dengan Nino.

Beberapa hari setelah penerimaan rapor, sekolah Nino akan mengadakan karya wisata ke Pulau Bali selama sepuluh hari. Miranda melepas kepergian Nino dengan berat hati namun tetap berusaha tersenyum. Selesai melepas kepergian Nino dari rumah, Miranda masuk lagi ke dalam rumah, niatnya sih mau tidur lagi. Namun tak lama kemudian ada yang memencet bel rumahnya. Ia pikir itu Nino yang barangnya mungkin ada yang tertinggal. Nyatanya, dua orang pria berbaju hitam-hitam lah yang muncul. Bodohnya, Miranda mengira mereka polisi, sehingga ia menurut saja ketika diperintahkan masuk ke mobil. Saat ia mulai merasa curiga, ada sesuatu yang membekap mulut dan hidungnya dan ia langsung jatuh pingsan.

Saat Miranda terbangun, ia sudah berada di sebuah hotel di Pulau Bali. Miranda menyadari bahwa ia sedang diculik. Kemudian ia bertanya kepada seorang pelayan wanita siapa yang telah membawanya ke sini. Pelayan itu kemudian menunjukkan kamar Adrian. Sesampainya di kamar Adrian (dengan adegan yang sedikit memalukan :p) Miranda terkejut dengan wajah penculiknya, namun akhirnya ia langsung bertanya apa maksud pria itu. Adrian menjelaskan bahwa Nino telah merebut tunangannya, yaitu Jess dan ia membutuhkan bantuan Miranda untuk memisahkan Jess dan Nino. Miranda tidak percaya dengan apa yang dikatakan pria itu. Ia juga tidak percaya bahwa Nino berani merebut tunangan orang apalagi wanita itu berusia lebih tua (Miranda mengira tunangan Adrian berusia 20-30an) :D. Maka ia menerima tawaran Adrian demi membela anaknya, dan untuk membuktikan bahwa pria itu pasti salah orang.

Yang tidak disadari Miranda adalah kemungkinan ia bisa jatuh cinta pada Adrian. Padahal ia mengira Adrian sudah menjadi milik wanita lain. Maka ia memutuskan untuk memendam perasaannya dan berusaha menikmati sepuluh hari pengintaiannya bersama Adrian sebagai kenangan yang takkan pernah ia lupakan. Yang lebih parah, perjanjian Miranda dengan Adrian membuat wanita itu bertemu kembali dengan kekasihnya dulu (ayah Nino) tanpa sengaja—yang tentu saja kembali menghancurkan hati Miranda.

Lalu, bagaimana kelanjutan pengintaian Miranda dan Adrian?
Apakah mereka berhasil memisahkan Nino dan Jess?
Bagaimana reaksi Adrian saat mengetahui bahwa Miranda adalah ibu kandung Nino?
Bagaimana reaksi ayah Nino saat bertemu kembali dengan Miranda?
Bagaimana akhir kisah Nino-Jess?
Bagaimana akhir kisah Adrian-Miranda?
Temukan jawabannya dalam novel ini. Nggak seru donk kalo aku certain semua, hehehe.


Penilaian
Alur yang mengalir dengan mulus membuatku merasa nyaman selama membaca novel ini. Sebelumnya, kupikir novel ini mungkin menggunakan percakapan dan penceritaan tokoh secara serius. Tapi ternyata dugaanku melenceng jauuuhh. Novel ini kocak a.k.a lucu abizz, dari lembar pertama hingga lembar terakhir (minus pada bagian Miranda berusaha menjauh dari Adrian). Dialog antar tokoh mengalir lancar, tidak membosankan, dan akhirnya membuatku ingin terus membaca hingga halaman terakhir. Percakapan antara Miranda dan Nino yang menggunakan sapaan “elo-gue” mempunyai kesan unik tersendiri. Berkat sapaan itulah hubungan antara Miranda dan Nino bisa terjalin dengan akrab layaknya sepasang sahabat, namun Nino tetap menghargai dan menghormati Miranda sebagai bundanya. Menurutku, satu hal yang kurang dari novel ini adalah pembahasan tentang Nino-Jess yang terkesan cukup minim. Yah, aku bisa memakluminya, mungkin itu karena penulis ingin lebih menonjolkan kisah Adrian-Miranda. Tapi tetap saja menurutku bagian Nino-Jess terlalu sedikit, padahal mereka juga cukup berperan dalam perkembangan hubungan Adrian-Miranda. Aku sampai bingung. Ini kapan jadiannya? Ehh, kapan putusnya? But don’t worry guys, overall novel ini tetep bagus kok. Dan, aku suka bagian epilognya, hahaha… SUKA SEKALI. Baik pada bagian Nino-Jess maupun Adrian-Miranda. Hehehe. Membaca novel ini membuat kita mengerti arti kata cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, bukan hanya tentang ‘cinta’ dan ‘kasih sayang’ yang banyak beredar di pasaran. *apaan-sich*
Novel ini juga sarat akan pesan-pesan yang positif, seperti perjuangan untuk tetap melanjutkan hidup dengan tidak menyesali semua yang telah terjadi pada masa lalu, menerima seseorang dengan tulus dan apa adanya, dan melindungi orang yang kita cintai. Oh iya, satu lagi. Buat anak-anak yang (maaf) berasal dari keluarga broken home, tidak punya ayah, atau ibu, sebaiknya kalian contoh sifat Nino. Dia fine-fine aja tuh dengan hidupnya. Ia malah jadi siswa terpintar, dan tidak pernah menyusahkan bundanya. Biarkanlah semua hal yang telah terjadi di masa lalu. Toh, kita tidak akan pernah bisa mengubah masa lalu, kan? Yang bisa kita lakukan adalah berusaha agar masa depan kita nanti akan lebih baik.
Then, I give 4 stars (from 5) for this novel. ^.^



Regards,

=R=

Cara Mengembalikan Akun BBM yang Dibajak atau Dihack (Terkena Hack)

Beberapa hari yang lalu saya mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Akun BBM saya dibajak :( Pertama kali tahu dari teman saya yang ...